Bencana Alam: Antara Ibnu Khaldun dan Machiavelli



Dua konsep politik paradoks mengemuka sekitar abad ke 13-15 Masehi. Ada nama Ibnu Khaldun dan Niccolo Machiavelli.

Bagi Ibnu Khaldun, politik adalah cara manusia untuk mengelola Negara dan membawa kemaslahatan bagi rakyat. Politik itu tidak kotor, tapi manusia yang membuatnya kotor. Intinya, politik bukan cuma soal kekuasaan, namun juga seni mengotimalkan kebaikan bagi banyak orang.

Tidak demikian bagi Machiavelli. Menurutnya, politik kekuasaan an sich. Siapa dapat apa, kapan dan bagaimana caranya. Cara pandang semacam ini membuat politik identik dengan kekuasaan. Tak akan bergerak melayani rakyat jika tak berkuasa. Sebab bagi penganut konsep ini, saat memegang tampuk kuasa akan mampu memberikan manfaat kepada masyarakat.

Agak repot tentu saja jika menerapkan paradigma politik Machiavelli. Karena menjadikan kekuasaan poros segala hal. Padahal, dinamika masalah di sebuah negara tak melulu butuh kekuasaan untuk diselesaikan. Contoh saja soal bencana alam. 

Negara butuh bantuan banyak elemen masyarakat untuk menangani musibah banjir, tanah longsor dan lainnya. Mengapa?

Karena kekuasaan yang menggurita salah satunya dalam bentuk birokrasi, memiliki keterbatasan dan kelemahan. Birokrasi cenderung lambat dan kaku. Red Tape Bureacracy. Banyak Sosiolog yang mengkritisi. Sebut saja Max Weber dan Hegel.

Sebab itu, kita patut bersyukur jika ada partai politik dan ormas turun ke lokasi bencana. Kehadiran mereka, seperti PKS di Kalsel, Sulbar, Sumedang dan lainnya, membuat pekerjaan Pemerintah menjadi lebih ringan. 

Inilah yang dimaksud politik kemaslahatan Ibnu Khaldun. Meski kita tak berkuasa, tapi tetap bisa melayani rakyat sebanyak mungkin. Karena politik bukan kekuasaan semata.

Jika demikian, Anda akan pilih konsep politik yang mana?

Erwyn Kurniawan
Sekretaris Kantor Staf Presiden (KSP) PKS/Humas DPP PKS/Tenaga Ahli DPR RI

Posting Komentar

0 Komentar