Point of No Return, Antara Popularitas dan Agresivitas dalam Pilkada



Menurut saya, Big Match di Pilkada Serentak tahun ini bukan di Jakarta, tapi di Jawa Barat. Bukan karena Jawa Barat adalah provinsi berpenduduk terbesar se-Nusantara yang hampir 50 juta jiwa itu, tapi karena PKS memasang semua koinnya di meja pertaruhan itu.


Tidak tanggung-tanggung, PKS mengeluarkan kader terbaiknya: Ahmad Syaikhu dengan lawan berat Dedi Mulyadi yang menurut beberapa survei unggul jauh dalam hal popularitas dan elektabilitas.


Saya tidak menolak hasil survei. Saya memaknai hasil survei itu sebagai potret hasil hari ini. Bukan saat hari pencoblosan. Apalagi PKS punya pengalaman di Pilgub sebelumnya, saat berbagai lembaga survei memprediksi suara Ajat-Syaikhu hanya kisaran 9-13%, nyatanya dalam kurang dari sepekan elektabilitasnya naik hampir 3 kali lipat menjadi 27%.


Apakah elektabilitas dan popularitas Dedi Mulyadi itu membuat kader PKS menjadi pesimis? Justru sebaliknya! 


Saya melihatnya sendiri, riak-riak itu sedang bergolak jadi gelombang. Spanduk dicetak mandiri dan dipasang sendiri. Patungan untuk kampanye dari kantong mereka yang tentu tidak tebal. Semua kader dan simpatisan PKS berubah menjadi sales yang haus closing memasarkan Ahmad Syaikhu dan Ilham Habibie.


Kader PKS memahami ini sebagai Point Of No Return. Titik dimana kita tidak berfikir untuk kembali. Untuk menyerah. Untuk menarik nilai taruhan. Kapal sudah dibakar. Tidak ada pilihan selain maju.


Maka, siapkan kopi sebab akan hadir dihadapan kita pertarungan epik tahun ini antara Popularitas dan Agresivitas.


-ST Sadanur, Politisi Magang

Posting Komentar

0 Komentar