Oleh: Brigjen TNI (Purn) Drs. Mu’tamar, M.Sc
Renungan Pembuka
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
ingin Indonesia dibangun dengan prinsip perubahan dan keberlanjutan, jika
dipercaya memimpin negeri. Keberhasilan pembangunan yang sudah dilakukan
pemerintahan sebelumnya perlu dilanjutkan dan ditingkatkan, sedangkan inovasi
pembangunan perlu dilakukan pada aspek-aspek yang belum optimal. Demikian pernyataan
Presiden PKS Ahmad Syaikhu saat memberikan pidato politik pada Penutupan Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) di Jakarta, Sabtu (25/2/2023).
Mari kita merenungi pernyataan
Presiden PKS dengan
kejernihan nalar, tanggalkan sikap apriori/syak wasangka. Layakkah PKS dituduh
oleh ‘pihak tertentu’ sebagai partai radikal garis kanan (Islam)? Sehubungan dengan
itu, Presiden PKS pernah mengajak kadernya di Sumatera Selatan menggencarkan
politik silaturahmi. Ini untuk menciptakan kehangatan sekaligus menggerus
stigma negatif di masyarakat (RMOL.ID, 20 Des 2021).
Apakah sudah sedemikian
mengkhawatirkan prasangka terhadap PKS dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara? Hingga Presiden PKS mengajak kepada para kader untuk menggencarkan politik silaturahmi? Mari kita pahami, dalami
dan cermati, bagaimana sebenarnya sikap PKS ini dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara? Apakah sementara pihak yang berpraduga, bersyakwasangka
dan membangun stigma miring terhadap PKS sudah mengetahui betul PKS luar dalam?
Atau hanya mengetahui dari sumber informasi sesat[1]menyesatkan (dari
‘tumpukan sampah digital’) yang kini banyak beredar di media sosial/online?
Oleh karena itu, mari kita merenung lagi, baru kemudian iqra (baca) secara
kritis-konstruktif, ada apakah sebenarnya?
Substansi Renungan
Memasuki era globalisasi yang
semakin masif, telah berkembang salah satu fenomena dan menjadi momok bagi
banyak negara, yakni munculnya ideo[1]logi
pemikiran radikal (radikalisme). Radikalisme dewasa ini telah berkembang secara
liar, baik pada tataran pertarungan ideologis politik negara maupun dalam
konteks percaturan politik keseharian (day today politics). Sejauh ini, pola
pikir radikalisme sering dikaitkan dengan pandangan ekstrem dan keinginan untuk
perubahan sosial yang cepat. Radikalisme adalah konsep dengan arti yang sangat
luas. Ada banyak pengertian mengenai radikalisme. Salah satu penjelasan
mengenai radikalisme adalah paham yang bisa memengaruhi kondisi sosial politik
suatu negara. Radikalisme pada tataran tertentu merupakan hasil pemikiran dari
aliran yang memiliki keterkaitan terhadap perubahan besar dan ekstrem.
Radikalisme adalah gerakan yang sudah ada sejak abad ke-18 di Eropa, dan kini
radikalisme adalah sebuah konsep/ajaran yang ditentang dan diperangi karena
banyak melibatkan aksi terorisme, termasuk di Indonesia.
Mencermati fenomena radikalisme
dan terorisme di Indonesia, kini menuntut tingkat kewaspadaan yang tinggi. Aksi
terorisme kini tetap menjadi ancaman, mengingat ajaran paham radikal dari
kelompok agama hingga kini masih bisa ditemukan di bebe[1]rapa tempat/daerah.
Paham radikal, sedikit banyak ‘bisa
jadi’ sudah berhasil mempengaruhi aparat pemerintah/negara. Sebagaimana
diberitakan Detiknews tanggal 24 Desember 2021, bahwa tim Detasemen Khusus
(Densus) 88 Antiteror Polri telah menangkap 370 teroris sepanjang 2021. Hal ini
menuntut sikap kewaspadaan tinggi agar radikalisme berlatar belakang agama,
dapat dibendung sehingga tidak semakin meluas/menyebar. Sudah saatnya paham
radikal kini segera dapat diatasi secara sistimatis, terencana dan terukur
dalam rangka menjamin tetap tegak utuhnya kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, mari kita
merenung lagi, sebuah negara tentulah didirikan, dibangun dan ditegak-kokohkan
tentu karena adanya kesepakatan dari segenap warga negara yang mendiaminya.
Dalam konteks kehidupan bernegara, sebuah kesepakatan, meski bukan berangkat
dari kesepakan bulat kala itu, tapi manakala telah ditetapkan oleh negara maka sudah
selayaknya seluruh warga negara mengamininya, dalam bahasa bersentuhan dengan
konsep ekstremisme dan terorisme.
Dalam sejarahnya, radikalisme
agama (Islam) disebut sebagai sami’na wa atha’na. Hal ini bila kita bersama
menginginkan kedamaian dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
bahkan damai dalam kehidupan beragama. Sebab, kesepakatan yang telah diambil
oleh para pemimpin bangsa kala itu, tentu bukan kesepakatan yang ditetapkan
seke[1]darnya,
tapi sudah melalui proses panjang kebernegaraan para pemimpin bangsa, sehingga
telah menjadi keputusan paling tepat, final dan sesuai dengan kepentingan dalam
hidup bernegara.
Meminjam pemikiran “Kontrak
Sosial” dari Jean Jacques Rousseau, bahwa dengan diterapkannya kontrak sosial
maka masing-masing individu telah melimpahkan segala hak perorangannya kepada komunitas
(negara) sebagai satu keutuhan. Dengan demikian, segala hak alamiah, termasuk
kebebasan penuh untuk berbuat sekehendak hati seseorang pindah ke komunitas
(negara). Dengan kata lain, kehidupan bersama dengan sendirinya menuntut kebebasan
masing-masing orang dibatasi demi hak dan kebebasan orang lain yang sama
pentingnya, juga oleh tuntutan kehidupan bersama. Dalam teori ini dipahami,
bahwa para anggota dari berbagai kelompok sosial-keagamaan yang berbeda, merelakan
diri mereka untuk berinteraksi, akan tetapi mereka tetap loyal terhadap agama
mereka.
Dalam konteks Negara Indonesia
yang memiliki berbagai
macam agama, common value untuk dijadikan kontrak sosial dan menjadi acuan
bersama adalah Pancasila. Sebab Pancasila yang mengandung nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, telah disepakati menjadi
ideologi negara. Dengan pemahaman ini, akan lahirlah loyalitas
kepada negara setiap warga negara, sehingga masa depan kehidupan warga negara
sebagai umat beragama akan menjadi damai, serta tidak perlu ada lagi tindakan
diskriminatif dan saling curiga mencurigai satu sama lain.
Sebagai upaya untuk mewujudkan
tatanan kehidupan bernegara dan beragama yang sehat, maka PKS sebagai salah
satu partai politik yang sah dan diakui pemerintah bersama parpol lain, serta
segenap komponen bangsa, juga bertekad
bulat untuk ikut serta bertanggung jawab dan berkomitmen mewujudkan kehidupan
beragama dan bernegara dalam damai yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
demi tercapainya tujuan dan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Hal tersebut,
sebagaimana tertuang dalam alinea 2 (dua) mukadimah AD/ART Partai Keadilan
Sejahtera yang menyebutkan, bahwa seiring dengan berkembangnya dinamika
aspirasi masyarakat dan untuk berpartisipasi menjaga kesinambungan serta keutuhan
NKRI, dengan tetap memelihara semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, serta UUD 1945 sebagai
konstitusi Negara, dibentuklah Partai Keadilan Sejahtera. Jadi PKS dibentuk
semata-mata untuk menjaga keutuhan negara, ideologi Pancasila dan konstitusi
negara UUD 1945.
Bahkan pernyataan Presiden PKS
pada awal tulisan ini, semakin menegaskan posisi PKS bahwa PKS ingin Indonesia
dibangun dengan prinsip perubahan dan keberlanjutan jika dipercaya memimpin
negeri. Keberhasilan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya
perlu dilanjutkan dan ditingkatkan, sedangkan inovasi pembangunan perludilakukan
pada aspek-aspek yang belum optimal, secara tuntas membuktikan loyalitas PKS
terhadap kesinambungan pemerintahan di bumi pertiwi ini.
Dengan demikian, sungguh tidak
beralasan bila PKS mendapat stigma sebagai partai radikal atau sangat tidak
benar adanya praduga bahwa kader-kader
PKS cenderung bersikap radikal. Padahal garis perjuangan sudah sangat jelas,
yakni berdasarkan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Bahkan, meskipun
PKS berasaskan Islam tapi juga sebagai partai yang terbuka, dan karena memang Islam
yang mengajarkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga sudah
semestinya PKS mampu mengembangkan konsep kehidupan islami yang dapat
melindungi, memajukan dan mensejahterakan
semua umat lintas agama, suku, bangsa dan seterusnya. Dengan demikian, kiranya
praduga/ syakwasangka dan ketakutan dari pihak tertentu, bahwa PKS dianggap
sebagai radikal menjadi tidak terbukti, atau tuduhan yang salah alamat.
Renungan Penutup
Sebelum mengakhiri, mari kita
tutup dengan merenung bersama. Bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan dua mata,
dua telinga, dua tangan dan hanya dengan satu mulut itu, sejatinya bukanlah sekadar
faktor estetika dari skenario penciptaan semata. Sudah semestinya disikapi
sebagai sebuah filosofi, bahwa kita harus lebih banyak mendengar, lebih banyak
melihat, lebih banyak berkarya, dan jangan sampai lebih banyak bicara. Oleh
sebab itu renungan ini agar tidak mubazir dalam rangka menjawab tuduhan PKS
sebagai partai radikal tidak terbukti, hendaknya jangan dijadikan sebagai
“slogan di pinggiran jalan”, melainkan wujudkan sebagai “tekad perjuangan
seluruh kader PKS”. Di manapun berada, harus terus melanjutkan kerja
silaturahmi politik penuh kehangatan di tengah masyarakat, guna meneguhkan
persatuan nasional bagi tetap tegak kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
tercinta. Semoga!
0 Komentar