Oleh: Cahya Mentari
Dear Suami,
Aku masih mengingat peristiwa 10 tahun lalu. Suatu sore saat mengikuti forum melingkar, datanglah pesan singkat darimu. Sebuah pesan terusan dari seorang pengurus DPD PKS yang bahkan tidak kukenal namanya karena kita masih berstatus pendatang waktu itu.
"Tolong hadir ke DPD untuk pemotretan guna memenuhi berkas pencalegan tingkat kabupaten."
Hah?
Apa?
Pemotretan?
Siapa?
Untuk apa?
Kok tiba-tiba?
Serentetan pertanyaanku yang kau jawab, "Entahlah aku kaget juga. Akan ku konfirmasi terlebih dahulu ya. Jika memang benar untukku, apa pendapatmu?"
Pertanyaan terakhir sungguh berat bagiku untuk menjawabnya, "Kalau masih bisa tidak, bagaimana jika kita tolak saja?"
Getir. Karena kita sama-sama tahu. Di satu sisi amanah memang berat. Di sisi lain, amanah selalu memilih 'tuan'nya dengan tepat–tentu atas seizin Allah ya.
Tapi tidak ada salahnya menghindar kan? Toh kita tetap bisa menawarkan diri berperan untuk amanah lain. Apalagi saat itu kita merasa bahwa kita masih terlalu muda. Masih banyak cita-cita, juga masih banyak petualangan yang ingin dicoba.
Sebagai caleg? Kita tahu betul sumber daya yang ada jauh dari cukup. Ekonomi keluarga masih pontang-panting. Sebagai ‘anak pasca-kampus’ yang minim pengalaman blusukan ke pelosok desa, relasi kita tak seberapa. Sesama kader PKS pun sedikit sekali yang pernah berinteraksi. Bagaimana tidak, kan kita kader pindahan.
Dear Suami,
Waktu pun berlalu dan aku paham betul karaktermu. Saat amanah sebagai caleg sudah di tangan tak ada pilihan selain bersungguh-sungguh menjalaninya. Tak perlu menengok ke belakang seberapa kuatnya kita menolak.
Saat hasil musyawarah sudah diketok palu, selanjutnya adalah tentang mengerahkan segala daya upaya. Aku menghormati itu. Maka tugasku berikutnya adalah mendukungmu sepenuh hati. Mendukung pilihanmu untuk tidak setengah-setengah dalam menjalani apapun, termasuk dalam berjuang sebagai caleg PKS.
5 tahun berikutnya datanglah amanah pencalegan kedua. Berbeda dengan sebelumnya, kita cenderung lebih siap. Pengalaman mengajarkan kita bahwa pemilu adalah momen memperluas kemanfaatan. Pemilu adalah sarana bersilaturahmi dengan kenalan lama, atau kesempatan bertemu dengan orang-orang baru. Pemilu adalah saatnya memperkenalkan kiprah PKS kepada khalayak yang lebih luas.
Ya, masa kampanye adalah wangun-wangun-nya orang bicara politik. Kita sama-sama tahu bahwa partai kita tidak hanya hadir di masyarakat saat pemilu. Tetapi dengan pemilu, kita bisa lebih berani menawarkan, tegas meminta dukungan, lebih 'nggak papa' saat sesekali menerima penolakan, serta bergegas bangkit menggalang strategi-strategi alternatif ketika menemukan bahwa satu cara ternyata tidak cukup efektif.
Dear Suami,
Kini kita bersiap menghadapi pemilu lagi. Bagimu adalah pencalegan ketiga. Bagiku, kesempatan untuk berbakti lebih banyak, mendukung lebih kuat, dan mendampingimu setiap saat.
PR yang tidak pernah berubah adalah mengokohkan akar supaya pohon kemanfaatan berbuah lebat. Diantaranya dan yang paling utama adalah menguatkan keluarga kita supaya turut menopang langkahmu di luaran sana.
Pernah kita obrolkan tentang kemungkinan berkurangnya waktumu bagiku dan anak-anak tiap kali jelang pemilu tiba.
Katamu, "Momentum ini adalah kesempatan mengokohkan keluarga kita berdasarkan nilai-nilai perjuangan dan kemanfaatan."
Dan benar saja. Meski kesibukanmu meningkat, sesekali kusimak berapa antusiasnya anak-anak dalam diskusi denganmu tentang apa-kenapa-bagaimana engkau keluar rumah hingga dini hari. Juga berbagai cerita seru sebagai oleh-oleh sehabis menyambangi berbagai kalangan. Bagi anak-anak, setiap obrolan bersamamu ibarat perwujudan nyata tentang bela negara dan penghayatan Pancasila yang selama ini lebih banyak mereka dapati di buku teks pelajaran.
Pada satu waktu pernah kudapati seseorang bertanya kepadamu mengapa kau tidak berusaha meminta mendapatkan nomor urut yang lebih layak--menurutnya. Ya, dalam tiga kali pencalegan belum pernah sekalipun kau mendapatkan nomor urut satu. Di dalam pikiranku sesungguhnya sempat terlintas. Iya juga ya. Memang lebih mudah menawarkan ke masyarakat kalau jadi nomor urut pertama. Caleg-caleg yang bergerak di lapangan juga banyak yang berpikir demikian bukan?
Dengan enteng kau menjawab, "Hati-hati nomor urut bisa menjadi jebakan zona nyaman. Apalagi bukankah ini era proporsional terbuka? Setiap caleg memiliki kesempatan yang sama-berapapun nomor urutnya."
Lagi-lagi, engkau membuktikan. Adanya tantangan keluar dari zona nyaman dan zona kemudahan itu membuat kita lebih kreatif. Juga lebih giat bereksplorasi untuk menemukan aneka strategi pemenangan.
Hai Suami.
Sebagai istrimu, aku sungguh bangga. Aku tahu pasti bahkan selama tiga kalipun, berbagai upaya menawarkan diri untuk pilihan kiprah lain sudah kita lakukan. Tetapi kau mendidikku bahwa menerima amanah pencalegan di PKS adalah pilihan yang perlu benar-benar didasari kesadaran dan kepahaman. Setiap caleg perlu menempatkan diri sebagai subjek alih-alih korban.
Tentu saja aku tahu itu sangat tidak mudah. Aku pun turut merasakan setiap fase berat yang ditemui. Tetapi di setiap titik lemahku, kalimatmu selalu terngiang-ngiang:
“Bukankah ada kehendak Allah di atas segalanya? Setiap yang ditetapkan tidak ada yang meleset–seberapapun kita mengharapkan atau menghindarinya.
Tugas kita berjuang. Amanah utama kita adalah mengerahkan segala upaya untuk menempuh jalan takdir dengan bersungguh-sungguh dan berikhtiar dengan sebaik-baik amal."
Jogja, November 2023.
Peluk jauh untuk seluruh istri caleg di seluruh Indonesia. Selamat berjuang!
0 Komentar