Oleh:
Sapto Waluyo
(Pembina
Center for Indonesian Reform)
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur
Wahid, terkenal dengan kritik dan pandangannya yang tajam terhadap berbagai isu
nasional. Bagi orang yang baru mengenal atau berposisi sebagai hater,
mungkin pandangan HNW (sebutan popular) dinilai nyinyir terhadap kondisi dan
kebijakan tertentu. Namun, bagi mereka yang memahami cara berpikirnya: akan
melihat keprihatinan mendalam sebagai pimpinan lembaga tinggi negara dan
sekaligus wakil rakyat.
Kritik HNW terkini terkait dengan
subsidi haji dan bantuan sosial yang sering disampaikan pejabat pemerintah.
“Pemakaian istilah subsidi haji dan subsidi sosial berpotensi memunculkan salah
persepsi. Seolah-olah negara mensubsidi jemaah untuk biaya naik haji dan
membantu rakyat,” ungkap HNW kepada media. Sehingga mengesankan hubungan yang
timpang antara negara dan rakyat. Padahal sejatinya uang yang dibayarkan untuk
biaya ibadah haji adalah dana jamaah haji sendiri bukan dari APBN.
Penggunaan istilah subsidi biaya
penyelenggaraan ibadah haji masih digunakan dalam keterangan terbaru BPKH
(25/4/2022). Hal itu berpangkal dari ketidakmampuan Pemerintah untuk mencapai
tingkat pengembalian (return) standar dalam mengelola keuangan haji.
Jika return setoran awal jamaah
bisa mencapai rata-rata 6 persen per tahun saja, maka selama menunggu
antrian/waktu tunggu untuk berangkat haji, misalnya 25 tahun, maka dana
tersebut akan berkembang menjadi lebih dari Rp 80 juta. Jumlah yang sangat
cukup untuk ongkos haji, bahkan masih ada sisanya.
"Ketidakmampuan mencapai
return standar tersebut menyebabkan hasil nilai manfaat harus didistribusikan
dari jamaah tunggu kepada jamaah yang berangkat. Tetapi sekalipun demikian,
distribusi tersebut tetap murni berasal dari uang jamaah haji, bukan merupakan
subsidi negara, sehingga tidak layak disebut sebagai subsidi,” jelas Hidayat.
Menurut Hidayat, seharusnya salah
kaprah penggunaan istilah 'subsidi haji' dikoreksi dan diganti dengan istilah
lain yang lebih sesuai dengan UU dan fakta lapangan. Misalnya bisa digunakan
istilah 'distribusi nilai manfaat' untuk pengelolaan keuangan haji. Tidak cuma
mengkritik, HNW menawarkan alternatif solusi.
Apa hikmah atau dampak dari pernyataan HNW itu?
Membangun Kesadaran Jama'ah Haji
Pertama, membangun kesadaran jamaah haji bahwa mereka
memang ‘mampu’ melaksanakan kewajiban rukun Islam yang kelima secara finansial.
Syarat mampu ini merupakan hal penting, dalam pandangan hukum Islam, karena itu
yang membedakan ibadah haji dari yang lain. Bila masih mendapat subsidi
pemerintah, bukankah terkesan belum mampu secara finansial? Distorsi dalam
pelaksanaan ibadah harus dihindari dari narasi kebijakan pemerintah.
Menyadarkan Aparat Pemerintah
Kedua, menyadarkan aparat
pemerintah, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji, bahwa mereka
hanya menjalankan tugas pelayanan. Aparat yang justru disubsidi (atau digaji) oleh jamaah
haji. Sehingga perilaku dan sikap mereka harus melindungi dan sepenuhnya
melayani keperluan jamaah haji. Bukan mempersulit atau mungkin (na’udzu billah) mengeksploitasi.
Reformasi Cara Pengelolaan Dana Haji
Ketiga, cara pengelolaan dana
haji yang bersumber dari setoran jamaah, agar lebih bertanggung-jawab dan
profesional. Dana
setoran jamaah harus diputar dalam proyek-proyek yang sesuai dengan aturan
syariah dan terjamin keuntungan/benefitnya secara bisnis. Sudah banyak contoh
negara dan instansi pemerintah/swasta yang sukses mengelola dana haji.
Indonesia jangan menjadi contoh gagal.
Kritik HNW terhadap istilah
‘subsidi haji’ sangat relevan dari sudut pandang sosiologis. Cendekiawan yang
serius mengkaji gejala relasi kuasa di balik penggunaan bahasa dan pengetahuan
publik adalah Michel Foucault (1999). Kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan
pengetahuan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh
kekuasaan. Instansi pemerintah yang bermaksud membentuk dan mengarahkan
perilaku masyarakat akhirnya membangun Governmentality (government
rationality).
Pada mulanya, setiap orang bebas
memahami dan mendefinisikan situasi sosial yang dihadapi. Namun, tahap tertentu
pengetahuan menjadi episteme, yaitu bentuk pengetahuan otoritatif yang telah
dimantapkan sebagai pemaknaan terhadap situasi tertentu pada suatu zaman. Suatu
episteme tidak berkembang secara evolutif dan linear, melainkan melalui proses
pergeseran dari satu bentuk ke bentuk yang lain secara fragmentaris dan
otoritatif pada masa tertentu. Istilah subsidi dipakai dalam pengelolaan
keuangan negara untuk menunjukkan sisi positif pemerintah membantu rakyat yang
tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok sesuai harga pasar.
Jika episteme ini terus langgeng
dan melembaga, maka ia akan menjadi sebuah rezim wacana. Rezim wacana akan
berimplikasi terhadap praktik sosial subjek, lebih khusus lagi yaitu sikap,
perilaku, dan tindak-tanduk subjek. Praktek subsidi telah berlangsung sejak
lama, terutama sejak masa Orde Baru ketika pemerintah mengalami surplus
produksi minyak untuk mendanai berbagai program
pembangunan, termasuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Di sinilah, istilah ‘subsidi
haji’ mengalami kontradiksi karena faktanya pemerintah saat ini mengalami defisit
dan membutuhkan sumber dana alternatif, termasuk dari dana haji yang dinilai ‘menganggur’.
Praktek yang terjadi adalah pemerintah memakai (mengelola) dana haji untuk
proyek produktif. Keuntungan dari dana hasil kelola itu yang akan diberikan
kembali kepada jamaah calon haji. Jadi, yang memberi ‘subsidi’ justru jamaah
calon haji kepada pemerintah, bukan sebaliknya.
Penulis adalah seorang calon
jamaah haji yang telah menyetor dana awal sebesar Rp 25 juta melalui bank
syariah beberapa tahun lalu. Sekarang harus menunggu beberapa tahun lagi untuk
dapat menunaikan ibadah haji dari wilayah DKI Jakarta. Terus terang, sampai
saat ini penulis tidak pernah dikontak langsung oleh pihak bank (tentang posisi
setoran dana itu) atau Kementerian Agama RI (tentang antrian keberangkatan
haji). Karena nasabah bank dan calon haji berjumlah jutaan, mungkin satu-dua
orang yang bersikap pasif tidak dipandang penting. Posisi nasabah/calon haji
yang pasif seperti jadi korban: hanya menunggu keputusan pemerintah dengan
penuh harap.
Apapun putusan pemerintah akan
disambut gembira, asalkan jelas kepastian untuk berangkat haji. Bahkan,
membayar biaya tambahan karena ongkos haji mengalami inflasi, juga siap
dilakukan dengan senang hati. Termasuk berterima kasih kepada pemerintah yang
telah memberi ‘subsidi’ beberapa item pembiayaan haji. Semua itu berlangsung
tanpa disadari bertahun-tahun lamanya.
Kritik HNW menyentak dan menyadarkan
penulis, bahwa jamaah berdaulat atas dana yang telah disetorkan dan berhak
melakukan apa saja terhadap dana setoran itu: apakah mau diambil (untuk
keperluan lain) atau dititipkan kepada pemerintah melalui bank syariah yang
ditunjuk (sebagai bukti kesiapan melaksanakan ibadah haji kapan saja
dijadwalkan). Penulis tidak ingat persis, pada saat menyetor dana awal haji
tersebut, pihak bank syariah menyodorkan surat perjanjian tentang persetujuan untuk pengelolaan dana setoran sesuai
prinsip syariah.
Kesadaran baru terbentuk, jamaah
calon haji bukan lagi obyek yang menunggu putusan apapun yang akan terjadi.
Dengan menyetor sebagian dana awal haji, setiap jamaah adalah nasabah (penabung)
yang memiliki hak untuk dilayani (terutama penyampaian informasi berkala tentang
penggunaan dana setoran itu). Bukan bermaksud arogan, jamaah calon haji
benar-benar tidak memerlukan ‘subsidi’ karena mereka mampu menyiapkan dana yang
diperlukan, asalkan komponen biaya haji ditetapkan sesuai standar normal. Tugas
pemerintah untuk mengontrol dan mensiasati semua komponen biaya haji agar tidak
memberatkan jamaah. Bila tugas itu dirasa berat, ya harus diserahkan kepada
pihak yang sanggup menanganinya.
Dengan menyetor dana awal dan menyetujui
pengelolaan dana itu sesuai prinsip syariah, maka jamaah calon haji juga
seorang ‘investor’ bersama jutaan jamaah/nasabah lain. Semua jamaah
berkedudukan sama, tidak ada investor minoritas atau mayoritas. Dari sisi
ekonomi, itu mirip koperasi karena semua anggota memiliki kedudukan sama.
Jamaah kemudian mempercayakan dana itu untuk dikelola secara profesional dan
bertanggung-jawab oleh BPKH. Semestinya harus ada rapat evaluasi (semacam RUPS)
oleh seluruh jamaah calon haji untuk meminta pertanggung-jawaban BPKH setiap
tahun. Sehingga status dan hak jamaah benar-benar dihargai, tidak hanya
dipandang sebelah mata. Tanggung-jawab utama BPKH adalah kepada jamaah calon
haji yang telah menitipkan dananya, bukan pihak lain.
Semoga kesadaran baru dan pola layanan yang lebih ramah kepada jamaah calon haji segera terwujud, karena sebentar lagi pelaksanaan ibadah haji tahun 2022 akan segera dimulai. Jangan sampai jamaah yang sudah menunggu bertahun-tahun disodori disinformasi (subsidi haji) atau dibebani biaya yang tidak rasional. Bila itu masih terjadi, maka dunia akan menilai kualitas layanan publik Indonesia yang masih jauh di bawah standar.
0 Komentar