Pajak dan Pedagang Kaki Lima



Wulan Saroso


Kalau sedang makan di warung tenda, biasanya akan didatangi bermacam penampilan dari para pengemis, pengamen dan pedagang asongan. Pengamen dari modal serius dengan gitar atau biolanya hingga yang ala kadarnya berbekal tepuk tangan dan suara seadanya. Yang penting bersuara. Begitu juga pedagang asongan dengan segala rupa dagangannya. Sementara pengemis pun dengan model yang berbeda-beda.


Tiap orang punya persepsi sendiri menyikapi keberadaan mereka. Ada yang acuh, ada yang menolak, ada yang memberi, ada yang mengamati dan ada yang lain-lainnya. Saya termasuk di antara orang yang suka mengamati mereka yang kemudian jadi bahan perbincangan membandingkan antara pengemis, pengamen dan pedagang asongan. 


Di persepsi saya, sebentuk penghargaan besar ingin disampaikan kepada para pedagang asongan. Pedagang asongan harus berusaha keras mendapatkan orang yang mau membeli dagangannya, baru kemudian bisa mendapatkan penghasilan. Pedagang asongan yang paling sering saya dapati adalah penjual sandal. Dengan harga sandal sekitar 20.000 rupiah hingga 50.000 rupiah, kurang lebih dia dapat keuntungan 5.000 rupiah sampai 15.000 rupiah per penjualan sandal. Jadi untuk mendapatkan penghasilan minimal 5.000 rupiah, dia harus berkeliling mendapatkan orang yang sedang butuh sandal baru. Kalau dari sisi hitungan statistik pemasaran, setidaknya dia harus berkeliling menawarkan ke sepuluh orang calon pembeli untuk bisa menjual satu pasang sandal. 


Sementara pengamen dan pengemis, dengan bekal gaya dan penampilan lalu mengedarkan kantong ‘tali asih’ dapatlah minimal 2.000 rupiah dari satu kali penampilan. Sepuluh kali tayang dalam semalam, setidaknya minimal dapat 20.000 rupiah. Sementara penjual sandal masih harus berkeliling mendapatkan orang yang ingin membeli sandal baru. Itu pun untuk bisa menjual satu pasang sandal.


Sejatinya yang menjadi perhatiannya saya adalah begitu kerasnya kerja yang harus mereka lakukan demi mengumpulkan ribu demi ribu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nilai seribu, dua ribu menjadi sangat berharga agar dapur bisa tetap ngepul dan kepala tak keliyengan karena menahan lapar. Sementara saat ini para wakil mereka alias wakil rakyat pun sedang membahas RUU tentang pajak yang akan memungut pajak ribu demi ribu dari kantong masyarakat, dengan diantaranya rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). 


Saat ini, sumber PPN terbesar berasal dari PPN dalam negeri, berupa konsumsi masyarakat, dan PPN impor, yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri. Artinya, kenaikkan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri. Imbas kenaikan PPN ini berpengaruh pada kenaikan harga barang dan jasa. Sebagai contoh sederhana, semangkuk mie ayam seharga 10.000 rupiah akan dikenai PPN sebesar minimal seribu sehingga harganya menjadi minimal 11.000 rupiah. Seketika saya jadi teringat kisah pengemudi ojol yang membatalkan makan di sebuah warteg karena menghindari membayar parkir sebesar 2.000 rupiah. Betapa berharga nilai seribu dua ribu dikumpulkan dan dipertahankan dari kerja keras banting tulang peras keringat. Dan ternyata buat para wakil rakyat di gedung megahnya, nilai seribu dua ribu itu pun harta yang berharga untuk membayar hutang negara yang entah kemanfaatannya berpihak untuk masyarakat atau lebih ke pemangku kekuasaan.


Di sisi lain dari rumitnya upaya para pemegang kebijakan ingin mengumpulkan dana dari masyarakat demi punya kemampuan membayar hutang negara, tersiar kabar tentang Pandora Paper yang ibarat kotak pandora membuka rahasia adanya petinggi negri dengan perusahaan cangkangnya berusaha menghindar dari kewajiban pajak. Terlepas benar atau tidaknya kabar tersebut, terasa sangat kontradiktif dengan kondisi masyarakat yang tengah dibelit kesulitan ekonomi di masa pandemi namun dibebani kewajiban menanggung beban negara. 


Pedagang kaki lima dan mungkin kebanyakan kita, bisa jadi tidak mengetahui atau bahkan tidak peduli tentang kenaikan PPN. Hanya bisa ‘ngedumel’ ketika membayar harga sepiring nasi rames 15.000 rupiah ditambah PPN-nya minimal 1.500 rupiah yang bisa untuk membeli segelas teh tawar. Hanya bisa berpikir dan berpikir untuk besok kerja lebih keras lagi untuk bisa tetap hidup dan bertahan. Sementara, pajak yang dibebankan, entah ke mana gerangan manfaatnya. Masyarakat masih menanggung beban hidupnya masing-masing.

Posting Komentar

0 Komentar