PKS kembali mendapat nomor urut 8 dalam pemilu legislatif. Sepuluh tahun lalu, partai dakwah ini mendapat nomor urut yang sama. Tak perlu utak atik gathuk untuk memaknai hal ini. Tapi jadikan penyemangat untuk menyambung tren yang pernah diraih pada pemilu 2004.
Unik, nomor urut PKS biasanya berkelipatan 8. Pada pemilu 1999, saat masih bernama Partai Keadilan, angka 24 menjadi penanda keikutsertaan perdana partai yang konsisten dengan lambang dua bulan sabit kembar ini dalam pentas perpolitikan. Kala itu mereka meraih 1,36% suara.
Lima tahun kemudian, hasil undian yang keluar adalah nomor 16. Juga angka kelipatan 8. Saat itu raihan mereka melonjak menjadi 7,34% suara.
Di tahun 2009, angka 8 menghiasi bendera-bendera kampanye mereka. Tapi tren kenaikan pada 2004 lalu gagal dijaga. Mereka hanya meraih 7,88% suara.
Di tahun 2014, tidak lagi berkelipatan delapan, tapi nomor urut 3. Bila angka 8 dihapus sebelah kirinya, didapatlah angka 3.
Memang tidak ada kaitannya antara nomor urut dengan prestasi politik. Sebuah angka tidak bisa memberi manfaat atau pun mudhorot kepada suatu makhluk pun di dunia ini. Begitulah prinsip orang yang imannya mendalam kepada Allah swt.
Hanya saja saya teringat hal yang unik 10 tahun lalu. Memaknai angka 8, Sekjen PKS Anis Matta kala itu mengaitkan dengan kepercayaan orang Tionghoa. “Angka 8 adalah angka hoki. Angka 8 merata gemuknya. Jangan seperti angka 9, karena gemuknya di atas dan gemuknya tidak rata,” ujarnya. Ucapannya ini kemudian direspon oleh Ketua PBNU Ahmad Bagja. “Justru itu aneh. Kok PKS percaya ke mistik, ada angka hoki dan tidak hoki. Ya menurut saya anehlah.”
(Beritanya masih terarsip pada tautan: https://pksbeji.wordpress.com/2008/08/11/pks-tricky-soal-angka-hoki-8/ , https://www.portal-islam.id/2008/08/anis-matta-angka-8-gemuknya-merata-beda.html , dan https://pksbeji.wordpress.com/2008/08/11/ketua-pbnu-pks-kok-percaya-hoki/ )
Saya bersyukur pada pemilu kali ini tidak ada lagi yang mengaitkan nomor 8 dengan kepercayaan di luar Islam.
Setelah memperoleh lonjakan yang tinggi pada pemilu 2004, kader PKS banyak yang yakin tren itu terjaga pada 2009. Target mereka adalah 3 besar, bahkan 20% suara. Kejutan dari pilkada DKI Jakarta 2007 menjadi penanda. Di mana pasangan Adang Darajatun – Dani Anwar yang mereka usung merengkuh kepercayaan masyarakat ibu kota sebanyak 42.13%. Padahal pasangan ini diramal tak kan mampu mencapai di atas 30%.
Kader PKS kala itu dalam kepercayaan diri tinggi. Kampanye di Gelora Bung Karno dikalkulasikan hingga 122 ribu orang (tautan: https://news.detik.com/pemilu/1111930/kampanye-diikuti-122-ribu-orang-pks-masuk-muri ), sampai-sampai mendapat piagam rekor Museum Rekor RI (Muri) sebagai peserta kampanye terbanyak di GBK.
Tapi bayang-bayang nama besar SBY rupanya tak bisa terbendung. Akhirnya, jangankan dua puluh persen, sepuluh persen saja gagal diraih PKS. Tak ada pengulangan cerita mengagumkan seperti lima tahun sebelumnya. Faktor lain adalah pecahnya barisan di tubuh partai. Bahkan orang awam pun memprediksi hal ini. Saya pernah menguping pembicaraan karyawan kantoran yang sedang ngobrol politik. Salah seorang bilang, dengan fenomena FKP, PKS tidak akan mampu berjaya di 2009. Rupanya ucapannya benar.
Kini dua hal yang mirip tengah dihadapi PKS. Yaitu nama besar capres yang diusung, Prabowo, yang secara coat-tail effect akan memberi keuntungan kepada Gerindra. Dan munculnya ormas baru yang didirikan sebagian kader partai yang tak percaya dengan pimpinannya.
Akankah angka 8 persen kembali menjadi kerangkeng bagi komunitas tarbiyah ini?
Silakan dianalisa. Tapi saya rasa PKS kali ini akan menyambung kesuksesan angka 8 yang sempat gagal dulu. Ya, saya percaya partai ini akan melonjak kembali di 2019. Walau dengan kenaikan yang tak se-drastis 2014.
Coat-tail effect tak dipungkiri. Tapi bukan berarti itu akan memblokir dukungan kepada PKS. Karena tokoh lain yang berpengaruh seperti ulama yang sedang terasing di kota kelahiran Nabi Muhammad saw (saya tak sebut namanya untuk menghindari telinga mar jukerberg menjadi panas. Karena tulisan ini akan diposting di FB), juga Ustadz Abdul Somad, Ustadz Haikal Hasan, dan para pemuka agama lain, serta ormas-oramas Islam menyatakan dukungannya kepada partai ini. Nama-nama tersebut punya pengaruh yang tak kalah hebat dari Prabowo.
Selain itu, perpecahan yang dialami PKS justru membuat partai ini berjalan ringan tanpa beban. Kader-kadernya tak lagi merasa canggung karena pernyataan nyeleneh tokohnya di depan publik, sebagaimana kata sinting yang pernah terlontar. Justru perpecahan kali ini membuat kader yang masih bertahan di dalam semakin mantap untuk berjalan dengan mabda’-mabda’ (prinsip-prinsip) dakwah yang selama ini dijadikan jargon. Allahu ghoyatuna semakin kokoh di hati menepiskan cemoohan orang-orang yang keluar barisan yang berkata “politik kok mencari berkah?”
Kualitas perpecahan tahun 2009 berbeda dengan 2019. Dulu, sebagian kader dipecat karena menuntut agar barisan kembali kepada asholah dakwah. Kini sebagian kader membangkang gara-gara persoalan kursi basah. Justru yang bertahan ingin agar langkah-langkah PKS berorientasi berkah, bukan maneuver zig-zag dengan aroma pragmatisme yang membingungkan kader, simpatisan, dan ummat Islam.
Saya merasakan getaran spirit kader PKS yang meninggi di tahun ini. Ya, kita lihat saja nanti. Semoga harapan saya benar.
Zico Alviandri
0 Komentar