Memaknai Kemerdekaan

Foto: PKS Foto/Ety Nurdiyanti 


Oleh: H. Gufron Azis Fuadi

Apa yang ada dalam benak kita ketika memperingati hari kemerdekaan negara kita, Republik Indonesia?


Pasti yang terbersit dalam pikiran kita adalah bahwa bangsa kita telah terbebas dari penguasaan, pengekangan dan penindasan dari bangsa asing, Portugis, Belanda dan Jepang. 


Umumnya kita memahami kemerdekaan itu secara fisik. Padahal merdeka bukan hanya sekadar tidak dijajah secara fisik. 


Tetapi merdeka harus dimaknai sebagai daulat atau memiliki kedaulatan dalam menentukan sendiri pilihan yang diharapkan untuk masa depan bangsa dan negara. 


Kemerdekaan, dengan demikian adalah kebebasan, kemampuan, kedaulatan dalam membuat pilihan masa depan yang diharapkan. Sepanjang kita terkungkung dengan pilihan yang terbatas, sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka. Apalagi bila pilihan kita dibatasi oleh ketidakberdayaan terhadap  negara lain karena hutang, politik, militer atau yang lainnya. 


Sejauh mana kita berdaulat, sebesar itulah kemerdekaan yang kita miliki. 


Karena kedaulatan yang kuatlah yang membuat bangsa lain hormat dan segan. Tetapi bila kedaulatan kita terbatas, jangankan negara besar, negara kecil tetangga pun berani 'ngece' mempermainkan kita. 


Islam Memaknai Kemerdekaan 

Bagaimana Islam memaknai kemerdekaan? 

Kemerdekaan manusia dalam Islam sudah diperoleh semenjak ia dilahirkan dari rahim ibunya. Maka dari itu  tidak dibenarkan seseorang memperbudak sesamanya atas dasar kekuasaan apapun. Pendapat inipun diimplementasikan oleh para Nabi utusan Allah melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistim perbudakan dengan berbagai cara.


Khalifah Umar bin Khatab pernah mengingatkan dengan tegas kepada gubernur Mesir, Amr bin Ash, yang membiarkan anaknya berlaku aniaya kepada rakyat biasa dengan ungkapan:

Ilaa mataa ista’badtum an naasa wa qod waladathum ummahatuhum ahroron? (Sampai kapan kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?)


Dalam sebuah riwayat yang dikutip dari Al-Jihad Sabiluna disebutkan, ketika Rib’i Bin Amir r.a, pimpinan  utusan pasukan Islam dalam perang Qadishiyah ditanya perihal kedatanganya oleh Jenderal Rustum (panglima pasukan Persia), ia menjawab: 


“Allah mengutus kami untuk memerdekakan manusia dari penghambaan manusia dengan manusia menuju penghambaan manusia kepada Rabb (Tuhan)  manusia, dari sempitnya kehidupan dunia kepada kelapangannya, dari ketidakadilan agama-agama yang ada  kepada keadilan Islam.” 


Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa Islam memandang kemerdekaan tidak hanya dari satu sisi saja, melainkan dari beberapa sisi yang mencakup lahir dan batin. Sehingga makna kemerdekaan yang sesungguhnya adalah ketika seseorang mampu berada dalam fitrahnya (Islam dan tauhid), dan hanya menghamba kepada Allah saja. 


Dalam terminologi bahasa Arab, kemerdekaan adalah 'al-taharrur wa al-khalash min ayy qaydin wa saytharah ajnabiyyah' bermakna, bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain. 


Hal ini berarti bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan melekat dalam diri setiap manusia. 


Seorang manusia, baru akan disebut merdeka bila ia sadar dan berusaha keras memposisikan dirinya sebagai hamba Allah dalam segenap dimensi dirinya, baik penciptaan, penghambaan, kecintaan, perasaan maupun perilaku. 

Dan ia menjadi tidak merdeka atau belum merdeka bila ia masih menghambakan dirinya kepada selain Allah. 

Dengan kata lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan oleh seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sebagai motivasi dan inspirasi utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah. 


Inilah sebenarnya hakikat  da’wah Rasulullah saw dan segenap nabi dan rasul sebelumnya, sebagaimana firman Allah: 

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut (sembahan selain Allah)  itu.”  (QS An-Nahl :36). 


Oleh karena itu suatu bangsa, masyarakat bahkan individu tidak dikatakan merdeka jika mereka tunduk kepada godaan syetan, nafsu dan cinta dunia. Mengapa?  


Pertama, karena nafsu akan membawa manusia kepada dosa dan kedzaliman. Bila ke kedzaliman terus berlangsung maka Allah akan mencabut keberkahan. Bila keberkahan hilang, maka penderitaan akan terus menimpa bangsa atau negeri tersebut. 


Kedua, karena nafsu akan menyeret manusia kepada kerakusan dan kesombongan. Kerakusan dan kesombongan melahirkan kekejaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan. 


Ketiga, nafsu akan membuat manusia akan memiliki sifat-sifat seperti  binatang. Bila manusia lebih didominasi oleh sifat kebinatangannya ia akan lebih kejam dan lebih berbahaya dari binatang, sebagaimana firman Allah swt: ..“ulaaika kal an’aam balhum adhal.”  


Keempat, karena cinta dunia akan mematikan hati nurani, sehingga hati menjadi keras karena mengagungkan  dan diperbudak oleh dunia.  Dengan mengagungkan dan diperbudak dunia, ia akan lupa kepada amalan untuk bekal akhirat sebagaimana firman Allah SWT: 

“Bal tu’tsiruunal hayaatad dunyaa wal aakhiratu khairuw wa abqaa.” 


"Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal."  (Al A'la: 16-17). 


"Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia"


Wallahua'lam bi shawab

 

#


Penulis adalah Ketua DPW PKS Lampung 2010-2015 dan Ketua DPP PKS Wilda Sumbagsel 2015-2020.

Posting Komentar

0 Komentar