"Tarian Menjemput Takdir"

pksfoto jatim


Oleh: Ade Gunawan


Takdir adalah sesuatu yang ada di balik kabut yang hitam pekat. Tidak terlihat wujud dan sifatnya. Orang yang beriman percaya dengan takdir, namun cara menghadapinya berbeda beda. Cara kita menyikapi takdir dapat disebut seni menjemput takdir.


Mengapa saya mengatakan takdir sebuah seni, karena di sana ada nilai keindahan atau estetika. Biarlah kalau ada sebagian yang mengatakan takdir itu kejam. Mungkin selama ini ekspetasi terhadap sesuatu terlalu berlebihan. Manakala kenyataan yang diterima tidak sesuai dengan harapannya, dia menjadi sangat kecewa.


Takdir juga tidak melekat pada si tukang nyiyir. Seperti menonton seseorang dari kejauhan sedang bersusah payah meniti harapannya. Si tukang nyiyir siap dengan gelak tawa ingin membuat malu orang tersebut.


Tapi sesungguhnya, Takdir di balik kabut yang hitam pekat menunggu kita dengan senyuman tulus penuh haru dan rasa bangga. Dengan energi menarik yang sangat kuat, ingin segera memeluk dengan penuh cinta dan kehangatan. Memberi rasa aman, ketenangan dan kedamaian.


Takdir tidak terlihat wujud dan sifatnya sebelum semuanya terjadi. berbagai seni menjemput takdir. Ada yang melambungkan doa doanya ke angkasa dan membiarkan bertarung bebas dengan takdir. Ada juga yang memaksimal ikhtiar sampai takdirnya tersingkap. 


Mungkin akan timbul dua kelompok antara yang memaksimal doanya atau yang memaksimal usahanya. Kelompok yang memaksimal doanya yakin akan dapat merubah takdirnya. Namun akan dilemahkan oleh orang yang berpendapat beda. Untuk apa mencoba merubah takdir Tuhan, kalau yakin setiap ketetapan Tuhan adalah yang terbaik untuk kita.


Dan sebaliknya, orang yang lebih memaksimalkan kerja dan usahanya sampai diluar batas kewajaran. Akan dipatahkan oleh orang yang berpendapat rejeki kita sudah dijamin dan ditakar oleh Allah Subhanahu wata'ala


Takdir itu sesuatu yang penuh dengan keindahan. Menjemput takdir harus dengan seni yang indah. Seperti seorang penari, dengan lemah gemulai diiringi musik gamelan. Tarian mengikuti irama yang dilantunkan, tidak berjalan tanpa kendali.


Karena takdir adalah seni dengan nilai estetika yang tinggi. Bisa diibaratkan kita menari di tepi jurang yang dalam. Tarian kombinasi antara harapan, iktiar, doa dan keyakinan. Harus penari profesional yang ketukan langkah dan gerak sudah diperhitungkan dengan matang, agar tidak tergelincir ke dalam jurang.


Ada juga pilihan yang aman. Tetap menari, tapi mencari tempat yang lebih aman di tengah lapangan. Menari bebas tidak mengikuti iringan lagu. Terlihat modern walau tidak ada nilai estetikanya.


Apa perbedaan mendasar orang yang menari di tepi jurang dengan orang yang menari di tengah lapangan? Tentunya dari cara gerak tarian. Yang di tepi jurang penuh dengan perhitungan dan kehati hatian. Ini adalah salah satu sifat orang bertaqwa.


Seperti percakapan indah dua sahabat Umar bin Khattab RA dan Ubay bin Ka'ab ini.  "Wahai Ubay, apa makna takwa?" Ubay yang ditanya justru balik bertanya. "Wahai Umar, pernahkah engkau berjalan melewati jalan yang penuh duri?"

Umar menjawab, "Tentu saja pernah." "Apa yang engkau lakukan saat itu, wahai Umar?" lanjut Ubay bertanya. "Tentu saja aku akan berjalan hati-hati" jawab Umar. Ubay lantas berkata, "Itulah hakikat takwa".


Percakapan yang sarat akan ilmu. Bukan hanya bagi Umar dan Ubay, melainkan juga bagi kita yang mengaku manusia bertakwa ini. Menjadi orang bertakwa hakikatnya menjadi orang yang amat berhati-hati. Ia tidak ingin kakinya menginjak duri-duri larangan Allah SWT.


Ia rela mengerem lajunya, memangkas egonya, menajamkan pandangan, menelisik sekitar, dan mencari celah jalan selamat. Semua fungsi tubuh ia maksimalkan agar ia tak celaka. Agar sebiji duri pun tak melukai kemudian mengucurkan darah dari kakinya. Takwa hakikatnya hati-hati.


Sementara orang yang menari di tengah lapangan adalah situasi dan kondisi di mana orang tersebut dalam keadaan yang merdeka, bebas tanpa beban dan tekanan. Tidak ada kewajiban agama dan aturan syariat yang mengikat.


Dari dua kondisi di atas, yang menari di tepi jurang penuh perhitungan dan kehati hatian. Dengan orang yang menari di tengah lapangan yang aman dan penuh kebebasan. Apakah bisa menjadi alasan, orang bertaqwa selalu saja tertinggal dengan orang yang tidak beriman dalam segala hal?.


Tentu saja tidak bisa menjadi alasan. Kalau saja kita bisa mengetahui titik temunya. Antara orang yang memaksimalkan kerja keras dengan orang yang kuat dalam doanya. 


Titik temunya yaitu sama sama memiliki harapan dan tujuan. Apakah tujuan kita yang penting aman dan selamat. Atau ada tujuan besar lainnya. Apakah harapan dan tujuan kita sebesar orang yang tidak beriman?


Harapan orang orang beriman harus lebih besar dari orang yang tidak beriman. Karena bumi beserta kandungan di dalamnya telah diwarisan untuk orang beriman.


وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ


"Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh."


Doa orang yang beriman tidak sebatas doa yang remeh temeh, mintalah kepada Allah Subhanahu wata'ala seperti doanya Nabi Sulaiman as yaitu Kerajaan yang belum ada di buma bumi.


"Rabbighfir lii wahab lii mulkan laa yanbaghii li-ahadin min ba'dii innaka antal wahhaab." Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juga pun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi."

Posting Komentar

0 Komentar