Meninggalnya Orang-orang 'Mahal'

Ilustrasi


Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan kota Nagasaki-Hiroshima hancur akibat di bom atom Amerika, kalimat pertama yang diucapkan Kaisar Jepang Hirohito kepada para pembantunya adalah "Berapa orang guru yang masih hidup?"

Kaisar Hirohito paham bahwa untuk membangun kembali sebuah negeri yang hancur akibat perang, maka sumber daya manusia yang paling utama adalah guru. Selama masih ada guru, selama itu pula masih ada harapan sebuah negara akan maju.

Hari-hari ini kita menyaksikan banyaknya guru-guru kita, para da'i, ulama dan ustadz, yang meninggal diterjang badai Covid 19. Memang kita tidak bisa menyangkal bahwa itu semua adalah takdir Allah, namun kita juga perlu mengambil pelajaran bahwa kematian seorang guru bukanlah kematian manusia biasa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Kematian seorang ulama itu adalah musibah yang tak tergantikan, lobang yang tidak dapat ditambal. Wafatnya seorang ulama bagaikan bintang yang padam. Bahkan meninggalnya satu suku (kampung) itu lebih ringan dari pada meninggalnya seorang ulama” (HR. At-Thobarani).

Meninggalnya guru-guru kita berarti meninggalnya ilmu, meninggalnya orang yang memberikan suluh kepada masyarakat, meninggalnya orang yang bisa membersihkan hati kita, meninggalnya orang yang doanya maqbul untuk mewujudkan berbagai kebaikan, serta meninggalnya teladan utama kita. Yang juga tak boleh dilupakan, meninggalnya seorang ulama adalah meninggalnya orang yang paling berani dan gigih memperjuangkan kebenaran, walau nyawa taruhannya.

Meninggalnya para ulama, ustadz dan guru-guru kita adalah meninggalnya orang-orang yang "mahal". Sebab untuk mencetak seorang guru (yang hanif) dibutuhkan waktu yang lama, pengalaman yang panjang, ilmu yang tinggi, biaya yang besar, tenaga yang sungguh-sungguh, dan perjuangan melawan hawa nafsu yang luar biasa.

Itulah sebabnya Allah mengangkat derajat para ulama beberapa derajat dan menempatkan mereka sebagai pewaris para nabi.

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat” (Qs. Al-Mujadalah ayat 11).

"Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Daud no. 3641).

Itulah sebabnya iblis tertawa senang dengan kematian seorang ulama. Sebab itu berarti telah tumbang musuh utama iblis laknatullah yang selama ini selalu menghalang-halanginya menyebarkan tipu daya jahat kepada manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Baihaqi dikatakan : “Kematian seorang ulama itu lebih disukai oleh iblis daripada kematian 70 ahli ibadah”.

Oleh sebab itu, kita patut bersedih jika ada guru, para da'i, ulama dan ustadz-ustadz kita yang meninggal dunia. Bahkan Rasulullah menegaskan: “Barangsiapa yang tidak merasa sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik” (HR. As Suyuthi).

Makanya kita heran jika ada seorang muslim malah senang, bahkan melaknat kematian seorang da'i. Allah Subhanallahu wa ta'ala telah membuka kedok kemunafikan orang tersebut di hadapan manusia.

Namun Allah, Sang Pemilik Kebenaran, tentu tak akan tinggal diam dengan kematian para ulama, ustadz dan guru-guru kita. Allah akan menggantikan mereka dengan generasi ulama berikutnya agar kebenaran tetap ada punggawanya di muka bumi.

Tugas kita adalah turut serta mencetak para ulama dari generasi keturunan kita. Bahkan kalau bisa menjadikan diri-diri kita sendiri sebagai pengikut jejak ulama, yakni menjadi da'i yang melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar.

"Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya" (Qs. 2 ayat 154).

Satria Hadi Lubis

Posting Komentar

0 Komentar