Pilkada dan Harapan Perubahan di Lebak Banten



Hampura (mohon maaf), terus terang saya ngakak membaca status kolega saya Achmad Syarif di salah satu laman media sosial miliknya, pegiat sosial dan media di Lebak, amuk-amukan (eh), yang mengomentari pendapat atau meminjam bahasa Syarif, kepada seseorang yang menurutnya hanya koar-koar tentang politik dinasti jelang pemilihan kepala daerah (pilkada), yang menurutnya,  jika tidak sepakat dengan orang yang memegang kekuasaan, maka rebutlah sesuai aturan konstitusi. Tapi saya juga percaya Achmad Syarif yang saat ini getol berkampanye Pemancingan Balong Lele murah miliknya ini, yang juga kerap merasa kehilangan korek gas-nya, belum tentu juga mendukung politik dinasti (semoga prediksi saya tidak salah, hehe).


Seperti itu? (meminjam kalimat emak dalam sinetron Tukang Ojeg Pengkolan), atau Dia mah begitu, Konstelasi politik lokal kadang memang kejam, orang tidak perlu bertarung dan atau pernah ikut kontentasi apapun untuk berkomentar, dan itulah mungkin fungsinya pengamat lokal (haha). Jadi tidak perlu bawa perasaan (Baper). Silakan saja banyak hal dapat lakukan, banyak teori yang dapat diterapkan dan banyak langkah yang bisa dikerjakan, ibarat langkah dalam catur, atau ibarat permainan sepak bola, akan terasa indah jika strategi yang dilakukan membuahkan gol. Karena saya yakin akan ngahenen (diam) dengan sendirinya disaat jagoannya kalah. Apapun yang diucapkan dan kerjakan oleh pemenang akan selalu indah pada waktunya.


Dalam keseharian, hubungan pertemanan (persahabatan) kadang melebihi hubungan sedarah, kita sering curhat bahkan curcor, sagala dicaritakeun. Apatahlagi di era Medsos, cerita kita, kerap diobral kesemua orang, gak ada urusan, kepada semua orang ditumpahkan, dari urusan kantor, urusan keluarga, bahkan sampai urusan pribadi, kadang orang terdekat kita tidak tau apa urusan kita sebenarnya, karena lebih percaya kepada orang yang kita kenal di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Sepertinya urusan pilkada juga begitu, bolehlah di sebut Curhat Pilkada.


Sebenarnya, kemungkinan bisa jadi, muaranya berawal karena kegelisahan kondisi daerah, terutama dalam hal pelayanan dasar masyarakat, seperti jaminan pekerjaan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang baik, serta tektek bengek urusan lainnya, yang mungkin dilihat kontras alias timpang oleh mereka. Atau seolah selalu dihadapkan pada berbagai Paradoks dan atau Kontradiksi, kondisi-kondisi dan realita kehidupan. Ketika masyarakat menyampaikan informasi harga-harga komoditi naik, keluhannya rata-rata gegara pemerintah tidak ketat mengawasi dan mengawal regulasi. Di sisi lain, pemerintah menyampaikan harga stabil, berapapun kebutuhannya akan terpenuhi, masyarakat tak perlu panik, bahkan kadang ditambahi disuruh untuk berhemat.


Harga gas elpiji melon melambung tinggi dari HET yang seharusnya, langka dipasaran, selalu dijawab harga stabil dan cukup. Harga Cabe sampai harga Bawang putih melambung, pemerintah menjawab tak perlu panik. Yang menikmati kenaikan harga komoditas seharusnya para petani, faktanya tidak demikian. Berbagai Tarif naik cepat tanpa sosialisasi sepantasnya, ekonomi rakyat terus terhimpit, pekerjaan sulit dicari, sebagian orang hidup mewah, daya beli rendah, yang lain boros semua dibeli.  


Paradoks dan Kontradiksi seolah melekat, antara pemerintah dan rakyatnya, terus menjadi bagian kehidupan, kadang membuat frustasi, kadang pasrah, kadang pula semangat. Paradoks akan terus menjadi bagian keseharian, begitu pula kontradiksi, sangat berlawanan, selalu bertentangan. Ketika seolah semua menjadi biasa, jangan heran jika rakyat berlaku Paradoks juga Kontradiktif kepada pemerintah. Jangankan tertawa, tersenyum saja asem. 


Untuk itulah, selanjutnya penentang politik dinasti, kemungkinan ingin menggalang kekuatan atau konsolidasi. Namun konsolidasi, bagi sebagian orang memiliki persepsi mencekam, lebih memiliki kesan merespon suatu peristiwa luar biasa, penting dan segera. Esensinya konsolidasi, semestinya lebih kepada bagaimana kondisi menjadi lebih nyaman, saling memiliki dan saling mengisi, berkomitmen untuk bersama. Dalam tahapannya, biasanya memiliki target. Target dalam sebuah konsolidasi adalah soliditas, solid dalam arti setiap orang memiliki peran yang jelas, "suhu atau  frekuensi" yang sama, fokus, dan yang penting gembira.


Perubahan, esensinya harus berangkat dari kesadaran yang sama, karena perubahan selalu dimulai dari langkah kecil, menuju yang diharapkan ! atau justru sebaliknya ?, kesadaran untuk saling menerkam dan bertahan hidup, seperti dalam sebuah cerita ; Di Afrika, Rusa bangun dipagi hari dengan kesadaran penuh bahwa dia harus berlari lebih cepat dari seekor Singa agar tidak diterkam, dan Singa bangun dipagi hari dengan kesadaran bahwa di harus berlari lebih cepat dari seekor Rusa agar dia bisa makan hari ini. Atau ada pula istilah, habis manis sepah dibuang, hih nyah....


Kita tahu, perhelatan Pilkada bukan hanya sekedar seremonial pemilihan, juga sebagai bentuk partisipasi demokrasi masyarakat untuk menentukan Kepala Daerah dan program pembangunan yang sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat.  


Namun belakangan, perhelatan Pilkada DKI Jakarta, Pilkada Kabupaten Serang serta Pilkada kota Cilegon di Banten beberapa waktu yang lalu, seolah memberikan ‘kiblat’ baru, pemahaman dan fakta baru, bahwa uang ternyata bukan segalanya. Para pengamat politik seolah tercengang dengan hasil Pilkada kota Cilegon yang diluar perkiraan. 


Namun, teori hebat apapun yang diterapkan, teori setinggi langit, akan tidak berarti jika berangkat dari hanya sekedar ingin tampil beda. Mari jadikan Pilkada sebagai titik awal langkah menuju perubahan. Yuk Mari....


Dian Wahyudi 

Ketua Gema Keadilan Kabupaten Lebak Banten

 

Posting Komentar

0 Komentar