Semburat Kemenangan Sang Jingga dari Tanah Papua



Maybrat, salah satu kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sorong yang dibentuk pada tanggal 16 Januari 2009 berdasar UU RI Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabupaten Maybrat[1] merupakan satu daerah yang harus saya kunjungi di akhir pekan ini, tepatnya pada hari Sabtu (10/4/2021).

Bersama rombongan yang terdiri dari Ketua DPW PKS Papua Barat, Sekretaris DSW dan satu relawan humas kami mengendarai mobil kurang lebih 4,5 jam hingga sampai di Aitinyo. Jalanan yang menanjak dan berkelok sempat memicu mual, namun angin segar membantu menyegarkan kembali fisik kami.

Kali perdana saya menjejakkan kaki di wilayah Ayamaru, ketakjuban akan panorama di sekitar Danau Ayamaru begitu menyita perhatian saya. Dengan kabut tipis dan udara yang sesekali angin sepoi bertiup mengibas ujung jilbab orange yang saya kenakan, menyempurnakan lukisan Ilahi pagi itu.

Setelah rehat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju Aitinyo. Salah satu kampung yang masuk dalam tiga wilayah besar di Maybrat yang selama ini dikenal dengan A3 yaitu Ayamaru, Aifat dan Aitinyo. Perjalanan yang kami tempuh sekitar 45 menit dari Ayamaru Kota cukup membuat berdebar. Jalanan yang kecil dengan kelokan tajam menjadi rute perjalanan kami menuju Aitinyo.

Perjuangan kami belum usai, Om supir yang membawa kami belum tahu lokasi acara. Kami berspekulasi, ikut jalan raya. Akhirnya kami temukan satu bendera orange di pinggir jalan, di antara belukar. Lega pastinya, namun kembali kami berprasangka. Pasalnya beberapa puluh meter selanjutnya tak kami dapati tanda bendera lagi. Kondisi kami persis seperti anak sekolah yang sedang mencari tanda jejak saat kembara.

Beberapa waktu berselang mulai kami dapati bendera, satu persatu, semakin rapat jaraknya. Hingga pencarian kami berhenti pada sebuah tanah lapang dengan tenda dan beberapa puluh orang telah duduk rapi di depan podium.

Setelah saling menyapa, kami diterima dengan sangat hangat. Kebanggaan bagi saya Ketika mendapat penghormatan dengan dipasangkannya simbol adat berupa topi Watau, Koba-koba dan tas noken yang terbuat dari kulit kayu. Betapa ketulusan dan jalinan kekeluargaan itu bisa saya rasakan. Bukan semata karena kepentingan politik praktis yang menautkan.

Bapak Yance Jitmau dan Zadrak Hosyo dengan sumringah memperkenalkan kami. Mereka dan teman-teman di Maybrat telah membersamai PKS sejak 2009 dengan suka duka dari perjuangan yang mereka lalui. Semangat kemenangan selalu mereka munculkan di setiap pertemuan. Bagi saya, orang-orang berdedikasi seperti mereka inilah wujud nyata kaderisasi partai.

Kami berbeda keyakinan, kami berbeda warna kulit dan bahasa, namun ketulusan mereka membawa PKS dengan visi besar mengangkat kesejahteraan masyarakat Aitinyo bisa terwujud. Mereka yakin PKS mampu memberikan angin segar untuk masyarakat Maybrat.

Lagi-lagi keyakinan itu mereka gaungkan dalam orasi politik saat rakerda kemarin. “Hanya kita orang-orang Aitinyo yang bisa menentukan nasib dan dapur kita sendiri, karenanya Aitinyo harus bangkit. Maybrat harus bangkit!”

Bagi saya keyakinan itu bukan hal mustahil, Maybrat dengan tiga suku besarnya telah diakui sebagai tanah para pemimpin. Betapa para pemimpin besar di Papua dan Papua Barat lahir dari rahim Suku Maybrat. Mereka menorehkan kebanggaan dan jejak pembangunan di tanah cendrawasih ini.

Ruh kepemimpinan tidak hanya terlihat pada Bapak Yance dan Zadrak, bertemu dengan teman-teman struktur yang sebagian besar adalah milenial semakin membulatkan keyakinan saya bahwa proses regenerasi kepemimpinan yang merupakan proses kaderisasi di PKS berjalan hingga di pelosok Papua Barat. Semangat, retorika, dan kemampuan berorganisasi yang bersinergi dengan kerja-kerja pemenangan merupakan metamorfosa dari kepemimpinan itu sendiri.

Jiwa pemimpin adalah menghormati, itu pula yang mereka suguhkan kepada kami. Rombongan kami “berbeda” dari masyarakat mayoritas di Maybrat. Namun, kerendahan hati mereka tunjukkan dengan bersusah payah mendatangkan beberapa masyarakat muslim untuk bisa menyajikan hidangan kepada kami. “Kami memasak di dua tempat, yang di depan untuk saudara-saudara kami yang muslim. Dan yang di belakang untuk saudara-saudara yang Nasrani,” ujar Bapak Zadrak melalui pengeras suara.

Mereka telah menang, mereka telah memulai perjalanan kemenangan dengan mengajarkan sikap pemimpin kepada kami. Menghargai perbedaan. Memberikan kenyamanan kepada yang berbeda dengan mereka. Menjaminkan keamanan bagi warga minoritas di daerahnya. Memberikan ruang untuk menjadi satu keluarga. Mungkin ini hal kecil, tapi sungguh empati dan kepedulian kecil ini adalah sikap para pemimpin sejati.

Lalu, ketika semburat jingga mulai merona di ufuk timur sebagai pertanda pagi menjelang. Pantaslah jika dimetaforkan sebagai tanda kemenangan sang Jingga dari timur, tanah Papua. Mereka telah bangkit mengibarkan panji kemenangan. Mereka telah memberikan potret kepemimpinan. Saya yakin, Tuhan akan membersamai perjuangan, ketulusan, dan berbuah kemenangan untuk masyarakat Papua Barat.

Waktupun semakin sore, kami pamit undur diri kembali ke Kota Sorong melanjutkan tugas dan amanah yang menanti. Sembari saya menyimpan di dalam hati, suatu saat saya akan kembali. Membersamai generasi pemimpin negeri dari timur Indonesia. Insyaallah.

 

 

 



[1] www.papuabarat.bpk.id


Posting Komentar

0 Komentar