"Ini Adalah Kemunduran Demokrasi. Kita Harus Prihatin"



Pernyataan diatas saya jadikan judul tulisan. Pernyataan dari seorang kawan di sebuah grup WhatsApp. Seorang fotografer yang punya cita-cita ingin jadi bakal calon Wali Kota Tasikmalaya. 


Kemarin riuh banget ya jagat perpolitikan nasional. Partai Demokrat sedang diterpa ujian in(eks)ternal. 


Sewaktu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memunculkan isu kudeta partai sebulanan yang lalu, saya memunculkan beberapa kemungkinan di ruang berpikir. 


#1


"Masa sih ada yang berani macam-macam dengan bapaknya AHY  (SBY)? Jenderal TNI yang jadi presiden dua periode?" 


#2


"Jangan-jangan ini gimick saja untuk menaikkan popularitas? Demokrat dan AHY belum beranjak di papan survei. Masih di papan tengah meski baliho dimana-mana?"


Tapi makin kesini ternyata makin serius ya. Yang digertak malah gertak balik. Meski ada yang berusaha keras menolak, namun pihak yang menginginkan kongres luar biasa ya ada juga, terus tumbuh dan mendapatkan panggung. 


Muaranya, kini Partai Demokrat punya dua ketua umum. Hal seperti ini bukan baru pertama kali terjadi, tetapi semacam pengulangan sejarah dalam dunia perpolitikan bangsa Indonesia. Bahkan sebelumnya ketua umum Anas Urbaningrum juga pernah dikudeta. 


Selain Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia pernah mengalaminya. Berawal dari kepengurusan ganda. PDI Megawati dan PDI Soerjadi (yang diakui pemerintah). 


Konflik di PDI bahkan berujung pada tindak kekerasan fisik dalam Peristiwa 27 Juli. Peristiwa yang hingga saat ini tidak terselesaikan. Masih ada suara-suara minoritas dari keluarga korban yang menuntut keadilan. 


Ketika masa reformasi tiba, PDI Megawati memilih jalan baru berganti nama jadi PDI Perjuangan dan ternyata ampuh. 


Sempalan dari PDI Perjuangan juga sempat muncul dipimpin Laksamana Sukardi dan bernama Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP), namun jauh dari kata sukses. 


#


Partai besar lainnya yang sering banget mengalami pembelahan adalah Golkar. Ketika reformasi pecah, muncul Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang dipimpin Jenderal Edi Sudrajat, tokoh yang kalah saing dengan Akbar Tanjung. Saat itu bahkan ormas MKGR jadi partai. 


Berikutnya, tokoh-tokoh Golkar yang tersingkir melahirkan partai baru. Hanura (Wiranto), Gerindra (Prabowo), Nasdem (Surya Paloh) hingga Partai Berkarya (Tomi Suharto). 


#


Pernah muncul Partai Matahari Bangsa (PMB) dari rahim anak muda Muhammadiyah yang kecewa dengan perkembangan Partai Amanat Nasional (PAN), dan kini Amien Rais yang pernah berkata baju Islami terlalu kecil, justru membuat Partai Umat.


#


Pernah eksis Partai Bintang Reformasi (PBR), yang dipimpin duet Bursah Zarnubi dan KH Zainuddin MZ yang tidak puas dengan PPP. Di fase selanjutnya, PPP juga pernah terbelah dua. Ada PPP Romahurmuziy dan PPP Suryadharma Ali yang kemudian diteruskan Djan Faridz.


#


Zaman SBY jadi presiden, peristiwa paling menyedot perhatian adalah konflik paman dan keponakan di tubuh PKB. Ketua Dewan Syuro PKB Abdurahman Wahid (Gusdur) memecat Ketua Dewan Tanfidziah atau ketua umum Muhaimin Iskandar. 


Lalu muncul dua kepengurusan dan di pengadilan selalu dimenangkan kubu Muhaimin Iskandar. Endingnya kejadian memilukan di pengambilan nomor urut partai jelang pemilu 2009. Muhaimin Iskandar dan Yeni Wahid berebut nomor.


#


PKS juga bukan partai malaikat. Banyak yang menyangka partai ini tidak akan mengalami perpecahan, karena orang-orangnya digembleng dengan sistem tarbiyah. Selalu diingatkan bahwa berkumpul untuk berharap Ridha Allah. Bahwa kekuasaan akan dipergunakan semaksimal mungkin untuk memperbanyak amal kolektif. Berharap Ridha Allah hingga kelak dikumpulkan kembali di Jannah-Nya. 


Tetapi ujian itu terjadi jelang pemilu 2019, ternyata ada yang tidak siap jadi prajurit biasa dan ingin selalu jadi panglima. Alhamdulillah PKS bisa melewati ombak gelombang itu.


Karena bukan partai malaikat dan pernah mengalami problem yang sama dengan partai lain, jadi PKS itu sama seperti kita semua bangsa manusia. Bolehlah dicoblos di 2024. 


#


Dari semua pembelahan yang terjadi di partai politik, dari zaman Soeharto hingga Jokowi, biasanya akan bermuara di pengakuan dari pemerintah (Kementerian Hukum dan HAM) dan keputusan hakim di pengadilan, biasanya sih memenangkan pihak yang memilih dekat dengan kekuasaan. Ini biasanya! 


Harapan saya sebagai rakyat kecil; demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat tetap terjaga di negeri ini. 


PKS tetap harus ada partnernya diluar pemerintahan. Biar oposisi tetap hadir untuk mengawasi kinerja eksekutif. Kalau temenan semua sama presiden kan gak enak ngingetinnya. Nanti kebablasan kan berabe bos. 


Terus..

Tetap ada minimal dua pasang capres-cawapres di 2024. 


Enjang Anwar Sanusi

Posting Komentar

0 Komentar