[OPINI] Literasi Media dan Berita Kematian

Ilustrasi (Sumber: pexels.com)


Sabtu lalu, masyarakat dikejutkan dengan kabar hilangnya pesawat Sriwijaya Air bernomor SJ-182 yang kemudian diketahui telah jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Sampai saat ini pencarian korban jiwa tengah dilangsungkan. Belum ada kabar yang selamat di antara 62 korban yang terdiri dari 50 penumpang dan 12 kru.

Seperti biasa, media massa sebagai industri yang memproduksi berita mulai bergerak meliput. Dan seperti yang sudah-sudah, terselip liputan soal firasat, kejadian aneh sebelum musibah, dan lain-lain yang tak penting. Entah apa pelajaran yang diambil dari kabar macam begitu.

Kematian selalu menjadi pelajaran yang berharga bagi yang hidup. Sampai-sampai, seorang Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mengukir tulisan di cincinnya yang berbunyi: “Kafa Bi Nafsika al-Maut Wa'izhan Ya Umar”, yang artinya: cukup maut menjadi peringatan bagi engkau Wahai Umar.

Di awal turunnya Islam, Rasulullah shalallahu 'alaihi was salam pernah melarang para sahabat untuk berziarah kubur. Namun seiring waktu, ketika umat Islam dirasa sudah mampu memfilter dari tradisi penyembahan berhala jahiliyah, dari mental pengkultusan terhadap makhluk, maka ziarah kubur pun diizinkan oleh baginda. 

Tujuannya agar umat Islam mampu mengambil pelajaran dari kematian, bukan mengagung-agungkan berlebihan orang yang telah berada di dalam tanah.

Sabdanya: “Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan (air) mata, mengingatkan pada akhirat, dan janganlah kalian berkata buruk (pada saat ziarah),” (HR. Hakim).

Bahkan sebelum memenuhi gilirannya untuk menginap di rumah Aisyah, Rasulullah menyempatkan diri untuk menziarahi kuburan Ahli Baqi'. Itu ia lakukan rutin. Sebagaimana yang diceritakan sendiri oleh Sayyidah ‘Aisyah:

“Rasulullah setiap kali giliran menginap di rumah ‘Aisyah, beliau keluar rumah pada akhir malam menuju ke makam Baqi’ seraya mengucapkan salam: ‘Salam sejahtera atas kalian wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukmin. Segera datang apa yang dijanjikan pada kalian besok. Sungguh, kami Insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah ampunilah penghuni kubur Baqi’ Gharqad,” (HR. Muslim).

Begitulah kata-kata penuh hikmah yang disampaikan baginda kepada penghuni kubur Ahli Baqi', sembari menyelipkan kalimat pengingat kepada diri sendiri, bahwa yang hidup akan segera menyusul mereka yang telah tenang.

Peristiwa kematian terus terjadi tiap hari. Di tengah wabah covid-19, juga ada musibah lain seperti jatuhnya pesawat baru-baru ini. Dan semua itu tentu ada pelajaran yang bisa diambil oleh orang yang hidup.

Maka muncul lah cerita tentang sosok Afwan Zamzami, yang qodarullah bertugas menjadi kapten pada pesawat itu. Cerita yang harum. Karena ia dikenal sebagai sosok yang relijius, Tetangganya bercerita bahwa ia aktif terlibat dalam renovasi masjid di Perumahan Bumi Cibinong Endah, Kabupaten Bogor. Tentu saja selain merenovasi, ia aktif memakmurkan masjid tersebut. Rajin hadir dalam sholat berjamaah.

Kemudian beredar pula video beliau mengisi pengajian. Dan seorang warganet bersaksi bahwa pilot Afwan tak ingin terbang di hari Jum'at karena tak mau ketinggalan sholat fardhu berjamaah di hari itu.

Mengagumkan. Di balik peristiwa sedih yang terjadi pada Sabtu 9 Januari lalu, Allah perkenalkan pada umat manusia tentang sosok yang sholeh yang menginspirasi. Semoga bisa kita ambil pelajaran.

Namun dari kecelakaan itu, banyak juga hal-hal yang tak pantas dan tak jadi pelajaran tersiar di tengah khalayak. Bahkan disebar oleh media-media yang harusnya mengedukasi masyarakat.

Misalnya, berita tentang firasat seorang korban yang belum meninggal, momen aneh korban sebelum meninggal, bahkan ada juga media yang mengulas gaji pilot. Sontak warganet yang masih berpikir jernih memprotes penulisan tak penting begitu.

Selain bisa menambah sedih keluarga yang ditinggalkan, mengulas firasat atau momen-momen tak biasa hanyalah menimbulkan khurafat yang diperangi oleh agama ini.

Islam bukan ajaran yang disarikan dari kebetulan-kebetulan yang dihubung-hubungkan. Bukan berisi larangan-larangan aneh yang tak punya landasan ilmiah. Bukan mengurusi hal-hal di luar nalar manusia. Tapi ajaran Islam justru banyak yang dibuktikan dengan ilmiah kemanfaatannya bagi hidup.

Karena itu tak ada yang bisa diambil pelajaran dari firasat, perasaan tidak enak, maupun kejadian-kejadian tak biasa yang mengiringi peristiwa kematian bagi umat Islam. Itu hanya kebetulan belaka. Malah dari situlah muncul kesyirikan, misalnya yang disebut dengan tathayyur.

Tathayyur diambil dari kata thayrun yang artinya burung. Orang jaman dulu meyakini adanya musibah dan keburukan yang akan menimpa mereka jika terdengar suara burung melintas. Oleh karenanya disebut tathayyur atau thiyarah.

Padahal tak terhitung seringnya burung-burung itu lalu lalang di sekitar kita. Tapi sekalinya terkena musibah, burung lah yang tertuduh membawa kesialan. Itu semua berawal dari kebetulan yang dihubung-hubungkan. Akibatnya orang akan merasa ada pihak atau hal yang bisa mendatangkan manfaat atau musibah selain daripada Allah subhanahu wa ta'ala. Disitulah terjadinya syirik yang mencederai rukun iman ke-enam: Percaya kepada qadha dan qadar.

Bukan itu pelajaran yang diinginkan dari kematian. Malah, menyiarkan firasat dan kejadian kebetulan di sekitar peristiwa kematian adalah sebuah pembodohan. Sayangnya pembodohan ini dilakukan oleh media massa yang berhajat pada oplah atau pun traffic. Maka jalan pintas pun dilakukan oleh oknum awak media: jurnalistik mistis.

Maka, sebagai konsumen media, kita harus kritis. Sampaikan keberatan kepada media tersebut, atau bahkan kepada dewan pers. Kita menginginkan media yang membawa kemanfaatan dalam berita-beritanya. Tidak boleh juga kita bersikap masa bodoh dengan pendapat, "kalau tidak bermutu ya tidak perlu dibaca." Sikap korektif umat Islam atas kualitas media sejatinya adalah sebentuk amar ma'ruf nahi munkar yang diperintahkan agama. 

Semoga Allah mengaruniai kita semua kepekaan dan furqon, yaitu kemampuan membedakan yang benar dan yang salah sekalipun itu begitu samar, dan keberanian untuk melakukan perbaikan.

Zico Alviandri

Posting Komentar

0 Komentar