Berkah Al-Qur'an Saat Wabah (Bag. II)

Ilustrasi (pexels.com)

Cerita sebelumnya Berkah Al-Qur'an Saat Wabah (Bag. I)

Seiring berjalannya waktu, saya terbentur dengan aktifitas menjemput nafkah dengan berjualan bakso di depan toko mainan anak-anak Holly 88 milik koh Engkian, yang buka sore hari dan tutup tengah malam. Aktifitas ini telah menghentikan kegiatan saya ngaji bersama Bapak-bapak.

Cukup lama saya meninggalkan pengajian Bapak-bapak tersebut, hampir 2 tahun saya tidak aktif di pengajian itu, ada yang hilang rasanya meninggalkan aktifitas pengajian itu, rasa sedih, rasa gundah dan ada pertanyaan yang mengiang-ngiang di telinga saya :

"Apakah kamu ridho meninggalkan pengajian belajar membaca Al-Qur'an yang sudah kamu rintis?" Pertanyaan itu selalu menghantui dalam hati.

Padahal tugas itu belum tuntas, meski sudah ada pak Tri Wahono yang sudah mumpuni mengajar karena beliau telah lulus buku Utsmani dan telah wisuda, namun beliau butuh tandem, butuh pengajar-pengajar yang lain yang membimbing peserta baru.

Sampai akhirnya terjadi penyebaran wabah Covid 19 di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia, hal ini merusak seluruh sendi kehidupan manusia di seluruh dunia, dan hal paling terkena dampaknya adalah sektor ekonomi.

Wabah ini juga telah menyerang kondisi perekonomian keluarga saya, usaha saya kantin di sekolah tutup total karena sekolah juga tutup, usaha Bakso saya juga terdampak dan akhirnya harus saya tutup menjelang bulan Ramadhan.

Kedua anak saya yang di pesantren juga ikut di pulangkan, sehingga di rumah kontrakan 2 kamar tidur itu dihuni 6 jiwa. 1 kamar buat tidur 2 anak saya yg pertama dan kedua, 1 kamar lagi untuk 4 orang, saya, istri dan kedua anak saya yang ketiga dan keempat.

Kondisi ini justru menambah kedekatan kami sekeluarga, yang biasanya buka puasa kami hanya berempat, karena yang 2 di pesantren, kali ini personil lengkap. Setiap buka puasa dan sahur kami berenam. Di tambah lagi saat itu sedang di terapkan PSBB (Pembatasan Sosial Besar-besaran) atau karantina mandiri skala Kabupaten.

Tapi kondisi ini juga membuat kepala saya pusing tujuh keliling karena logistik atau sembako di rumah harus ada stock yang mencukupi untuk keenam personil keluarga kecil kami.

Beruntung waktu itu ada bantuan dari berbagai instansi dan perorangan yang ikut membantu program pemerintah dengan bantuan beras dan sembako setiap bulan selama kurang lebih 3 bulan. 

Sebenarnya malu menerima bantuan itu. Mestinya membantu saat kondisi Pandemi seperti ini, namun apa hendak di kata, semua usaha/bisnis berhenti tiba-tiba.

Dalam kegamangan suasana Pandemi yang makin menggila, mertua di kampung menelpon dan minta kami sekeluarga untuk balik dulu saja ke kampung.

"Udah pulang dulu aja, nggak usah khawatir di kampung mah, aman beras banyak lagi pula Mul kan mau kerja apa aja, nanti di sini bisa ngerjain apa aja" kata Emak mertua saya di ujung HP saat telponan sama istri saya.

"Iya mak, nanti bilang sama Mas Mul" jawab istri yang langsung mendiskusikan tawaran ini dengan saya.

"Gimana bi, kita pulang aja nich ke Lampung?" Istri saya mencoba merayu mengajak ke Lampung.

"Entar dulu ya mi, kita mesti pikirkan, soalnya ini pasti lama, apalagi kita ber enam, nggak enak numpang hidup sama orangtua"  saya mencoba berpikir realistis.

"iya tapi kita mau usaha apa ?" Istri saya mulai ragu dengan keadaan yang ada.

"Ya nanti Abi cari info pekerjaan kalau ada," jawab saya mencoba meyakinkan istri agar tetap sabar.

Di hari menjelang pulang ke Lampung, yang akhirnya menjadi keputusan kami karena tak kunjung ada kepastian pekerjaan atau usaha baru, tiba-tiba seorang teman kirim WA ke saya.

"Pak Mul bisa gabung di proyek saya pak, ngawasin yang kerja aja, tapi gaji harian, bisa nggak ?"  begitu WA yang di kirim teman saya yang sudah jadi kontraktor, pak Maksum namanya.

"Insya Allah siap pak," jawab saya di WA.

Akhirnya kami nggak jadi pulang ke Lampung, saya sudah dapat pekerjaan baru untuk tetap bertahan di Tangerang.

Uang tiket atau ongkos yang di transfer Kakak saya (Mas Giman), tadinya mau saya kembalikan karena nggak jadi pulang, akhirnya saya minta ijin ke Kakak untuk jadi modal jualan sayuran sistem delivery order.

Jadi selain kerja jadi mandor proyek, pagi sebelum berangkat kerja, saya mengantar pesanan sayuran dulu ke pelanggan.

Sebelum Maghrib saya sudah sampai di rumah, jadi masih ada kesempatan untuk ngajar Iqro bapak-bapak. Dan kebetulan ada 6 peserta baru yang siap ngaji dari Iqro jilid 1.

Alhamdulillah, akhirnya bisa ngaji lagi sama Bapak-bapak, seminggu jadwal 3 kali, Senin malam, Rabu malam dan Kamis malam. Pengajian di mulai ba'da isya sekitar jam 19.45 sampai dengan 21.00 WIB.

Antusiasme pak Roni (Ketua RW), Pak Doel, Pak Darmin, Pak Arif, Pak Yudi dan Pak Dhani saat mengaji menambah semangat saya juga untuk mengajar. Jika ada salah satu peserta pengajian yang tidak hadir, pak Roni langsung japri menanyakan mengapa belum hadir.

Saat lagi semangat-semangatnya mengaji, ada saja hal yang sedikit mengganggu aktifitas ini. Rumah kontrakan jatuh tempo pembayaran, jumlahnya cukup lumayan Rp. 15 juta untuk setahun dan uang yang ada baru ada Rp. 4 juta.

Tadinya saya mau pindah rumah kontrakan saja yang bayar bulanan, namun karena beberapa pertimbangan, salah satunya masukan istri saya untuk bertahan dan nego bayar dulu aja setengah tahun.

Saya coba nego ke yang punya rumah dan di setujui, tapi harga di naikan jadi Rp. 8 juta untuk setengah tahun.

Waktu tinggal 4 hari lagi untuk pembayaran rumah, dana yang ada masih kurang Rp. 4 juta lagi. Banyak sebenarnya teman-teman yang bisa di mintain tolong untuk di pinjemin, tapi rasanya malu mau pinjem.

Saat pengajian pak RW sempat nanya :

"Gimana soal rumah pak Mul ?” tanya beliau.

"Sudah saya nego pak, bisa setengah tahun dulu tapi harga jadi Rp. 8 juta, saya baru ada Rp. 4 juta, sisanya nanti nyari lagi" jawab saya menjelaskan kondisi terkini.

"Biasanya injury time ada pertolongan Allah pak" tambah saya.

"Ya sudah gini aja, sisanya yang Rp. 4 juta saya yang nalangin dulu, nanti pak Mul bisa mulai nyicil bulan Januari atau Februari tahun depan" suara pak RW memecah keheningan di sela-sela obrolan itu.

"Masya Allah, beneran Pak RW" tanya saya setengah tidak percaya.

"Bener pak, nanti WA aja nomor rekening Pak Mul ya" pinta pak RW.

"Siap pak RW" jawab saya mantap.

Rejeki yang tidak di duga-duga datangnya darimana saja bisa lantaran siapa saja, rasa syukur kami panjatkan atas kemudahan ini.

Tidak sampai di sini, setelah beberapa hari saya bayarkan uang Rp. 8 juta ke pemilik rumah, aktifitas normal kembali, bekerja, dan mengaji sepekan 3 kali.

Saat pengajian berikutnya tiba-tiba Pak RW bilang lagi : "Begini pak Mul, uang yang Rp. 4 juta talangan dari saya itu nggak usah di bayar lagi, Bapak-bapak pengajian sepakat membayar patungan utang Pak Mul"  begitu kira-kira penjelasan pak RW.

Saya bengong tak percaya dengan apa yang di katakan pak RW, "beneran ini pak ?" Tanya saya.

"Bener Pak Mul, ini kesepakatan Bapak-bapak pengajian" Pak RW meyakinkan saya.

”Masya Allah Tabarakallah, terima kasih ya Allah, terima kasih Bapak-bapak semua, semoga Allah selalu memberikan rahmat-NYA kepada kita semua" do'a saya untuk semua jama'ah Pengajian.

Begitulah sekelumit kisah nyata yang saya alami di tengah Pandemi, bukti Keberkahan mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Semoga bisa menjadi semangat kita semua untuk selalu berdekatan dengan Al-Qur'an.

Selesai

Kang Mul

Posting Komentar

0 Komentar