Harga Mahal Pilkada



Wulan Saroso


Mahal bener pilkada kali ini. Itu yang terbersit di kepalaku saat masuk ke TPS di mana aku bertugas sebagai saksi salah satu paslon peserta pilkada. Tulisanku ini tidak ada kaitan dengan tugasku sebagai saksi. Jadi gak perlu nyinyirin kenapa mau jadi saksi, kenapa ikutan rempong dan segala kawan-kawannya. Tapi lebih untuk mencerna lagi ke sekian kali, betapa mahalnya harga sistem demokrasi di negri ini. 


Pesta demokrasi di masa pandemi ini memang beda. Ada tambahan terkait protokol kesehatan untuk para petugas di TPS dan juga para pemilih. Di mana tambahan itu berkaitan dengan kelengkapan yang harus disediakan oleh KPU di setiap TPS. Buat yang kemarin ikutan datang ke TPS, pasti mendapati hal yang berbeda dari sebelumnya. Ketika pemilih datang ke TPS, hal pertama yang ditemui adalah pemeriksaan suhu tubuh dengan menggunakan thermo gun. Artinya ada ribuan atau mungkin jutaan penyediaan thermo gun untuk tiap TPS. Alat cuci tangan pun disediakan, mulai dari ember, sabun hingga antiseptik. 

Kemudian setiap pemilih diharuskan menggunakan sarung tangan plastik ketika mencoblos surat suara dan sarung tangan itu langsung dibuang ke tempat sampah plastik yang juga disediakan. Plus sarung tangan dan masker untuk petugas KPPS. Nantinya sampah sarung tangan plastik plus masker dan sarung tangan medis yang dipakai oleh petugas juga diserahkan ke kantor PPS sebagai limbah medis. Jadi sarung tangan plastik yang dipakai saat mencoblos gak boleh dibawa pulang buat dipakai ngulen adonan gitu. Selain itu, disediakan pula hazmat untuk KPPS gunakan mendatangi pemilih yang sedang isolasi mandiri. Maka hitung sendirilah kira-kira berapa tambahan ongkos untuk demokrasi di penghujung 2020 ini. 

Coba iseng hitung kasar ya. Kalau di rata-rata ada 4000 TPS di satu kabupaten atau kota dan ada 270 daerah yang melakukan pilkada, artinya ada kurang lebih 1 juta lebih penyediaan thermo gun. Bila harga thetmo gun sekitar Rp 70.000, total ongkosnya mencapai 75M. Itu masih satu item. Belum ditambah item tambahan lainnya. Maka benarlah bila bapak Tito menyebutkan pilkada bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi. Tumbuh buat yang kebagian. Buat yang gak kebagian ya tetep aja garing. Seperti kisah dana bansos yang beritanya disunat hanya ceban doang. Yang kelihatan sih ceban, yang samar-samar redup di bawah rerimbunan gak ketahuan. Ceban aja masih buat keroyokan, belum yang lain. 


Pilkada sudah terlaksana. Buat siapapun yang terpilih menjadi kepala daerah, ingat-ingat kalau anda semua terpilih atas harapan adanya perubahan nasib orang-orang yang memilih. Jangan pula kalian bilang ke pemilih kalau nasib mereka di tangan Tuhan. Mereka memilihmu karena yakin akan ketetapan Tuhan bahwa tidak berubah nasib suatu kaum hingga mereka berusaha untuk merubahnya. Memilih kalian wahai kepala daerah adalah bagian dari upaya merubah nasib. 


Anggaran cuma untuk mencoblos gambar anda wahai kepala daerah, sebenarnya bisa buat dibelikan beras masyarakat terpuruk di masa pandemi, buat dibelikan pulsa belajar daring anak sekolah, buat pengobatan gratis masyarakat yang terdampak pandemi dan segala macamnya. Bila anda khianati amanat dan bersenang-senang dengan kekuasaan, bayangkan gambar wajah ada dicoblos dengan paku di bilik suara. Jangan sampai terjadi di hari perhitungan abadi kelak.

Posting Komentar

0 Komentar