Hoax, Terorisme, dan Nostalgia Orde Baru


Saya berharap sekali ada yang menyusup ke dalam grup whatsapp aktivis OPM, lalu mengirim berita hoax yang sangat shareable. Kemudian berita itu disebarkan oleh mereka. Sehingga apa yang dinanti-nanti masyarakat Indonesia pun terwujud: pemerintah menetapkan Organisasi Papua Merdeka sebagai teroris.

Harapan saya itu dilatarbelakangi pernyataan menghebohkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, bahwa penyebar hoax bisa dijerat UU terorisme.


"Kan ada Undang-Undang ITE, pidananya ada. Tapi saya terangkan tadi hoax ini kan meneror masyarakat. Terorisme ada fisik dan nonfisik. Terorisme kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk takut datang ke TPS, itu sudah ancaman, itu sudah terorisme. Maka tentu kita Undang-Undang Terorisme," ujarnya dikutip oleh media.

Tepatkah menggunakan UU terorisme untuk memberantas hoax? Pihak yang pro akan setuju agar kabar bohong bisa cepat dientaskan. Tetapi kenapa tidak diberlakukan yang sama untuk perbuatan korupsi? Bukan kah penyakit itu lebih merugikan masyarakat?

Dan apakah setiap kejahatan, agar segera diberantas, diberlakukan UU terorisme kepada perbuatan tersebut?

Dua Hal yang Rancu

Hoax dan terorisme adalah dua hal yang masyarakat masih bingung mendefinisikannya.

Pengeboman bermotif agama yang sudah-sudah, disepakati sebagai terorisme. Tetapi untuk aktivis OPM yang telah membunuh sekian banyak aparat dan tentara, mengapa hanya diberi sebutan "manis" "Kelompok Kriminal Bersenjata"? Mengapa tidak disebut teroris?

Masyarakat luas sudah merasakan ketakutan yang disebarkan OPM. Korban sudah banyak. Mereka jelas melakukan kekerasan bermotif ideologi. Lalu apa yang kurang untuk disemati gelar teroris?

Begitupula dengan hoax, masyarakat pun bertanya kebohongan seperti apa yang bisa dikategorikan. Kalau dalam sebuah pidato, debat, atau wawancara seorang menyampaikan data yang salah, apakah bisa disebut hoax? Kalau ada janji pejabat yang diingkari, bolehkah disebut hoax?

Berjanji palsu sudah menjadi kebiasaan pejabat publik di Indonesia. Sampai-sampai MUI mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut. Tepat kan kalau dikategorikan hoax?

Sudah banyak yang dijerat UU ITE karena menyebar berita bohong. Namun ada perasaan janggal di masyarakat. Kok rasanya hukum tajam hanya untuk satu kelompok saja.

Belum lagi pernah ada istilah "hoax membangun". Membuktikan betapa rancunya istilah hoax ini.

Ngerinya UU Terorisme 

Penanganan terorisme selalu lekat dengan senjata aparat. Tak jarang terduga teror telah dihabisi sebelum sempat disidang. Kasus Sriyono menjadi ingatan kelabu bagaimana ngerinya segala sesuatu yang berhubungan dengan pemberantasan terorisme.

Maka wajar bila pernyataan pak Wiranto membuat syok rakyat. Belum lagi persepsi sebagian masyarakat yang merasa hukum masih tebang pilih.

Warganet dihantui bayangan aparat berlaras panjang yang siap membekuk manakala mereka salah tulis atau khilaf menyebarkan berita yang sangat meyakinkan kebenarannya namun rupanya keliru.

Duh, kok rasanya malah pernyataan pak Wiranto yang "meneror" masyarakat?

Menanggapi kehebohan ini, Peneliti Terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menghubungkannya dengan suasana angker orde baru.

"Saya ingin tertawa dengar komentar Menkopolhukam Wiranto. Itu sudah terlalu jauh. Mendengar pernyataan tersebut, pikiran saya melayang ke masa lalu, masa orde baru yang kelam bagi perjalanan demokrasi kita, sebuah masa di mana negara dikelola secara otoriter dan militeristik," ujarnya.


Saya kebetulan hidup di zaman jelang orde baru berakhir. Merasakan langsung hawa rasa takut dituduh subversif oleh penguasa kala itu di tengah masyarakat. Dan belakangan ini, ada banyak hal yang membuat saya bernostalgia dengan orde tersebut.

Zico Alviandri

Posting Komentar

1 Komentar