Maulid Nabi SAW dan Tafsir Parsial yang Dipropagandakan


Erwyn Kurniawan
Penulis dan Jurnalis

Setiap kali peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW hadir, selalu muncul kegelisahan yang sama. Yakni tentang tafsir parsial kita dalam melihat sosok Rasulullah SAW.

Di berbagai kesempatan, tempat dan utamanya di Istana Negara saat Hari Kelahiran Nabi SAW diperingati, tema-tema yang diangkat seputar toleransi, kelembutan akhlaq, dakwah yang merangkul, kesabaran dan sejenisnya.

Ada semacam pemaksaan wacana. Tafsir parsial yang terus dipropagandakan atau upaya menghegemoni makna terhadap kepribadian Rasulullah SAW.

Padahal sejatinya tidak demikian. Nabi Muhammad SAW adalah perpaduan kelembutan dan ketegasan. Bisa merangkul juga tak segan "memukul". Mampu sabar tapi juga dapat meluapkan kemarahannya. 

Beliau begitu sabar ketika dirinya dihina, bahkan hingga dilempari batu dan diteriaki orang gila. Tapi sama sekali tak marah. Beliau justru berdoa untuk kebaikan mereka yang menghinanya. Kisah Thaif jadi saksinya.

Namun, jangan sekali-kali menista ajaranNya. Jika itu dilakukan, beliau sama sekali tak ragu untuk melakukan perlawanan.

Suatu ketika beliau mendengar laporan Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Nabi menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)

Raut wajah Nabi SAW berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di tengah-tengah kita?” ujarnya.

Orang Yahudi tersebut tak terima dengan perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui Nabi Muhammad untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah dan mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika tafsir kita terhadap Nabi SAW hanya soal kelembutan, kesabaran, toleransi dan sejenisnya, tak akan pernah ada Perang Uhud, Badar, Khandaq, Tabuk dan lainnya. Bahkan, lebih jauh dari itu, Islam tak akan pernah hadir di jiwa kita hari ini. 

Wallaua'lam Bishshowab

Posting Komentar

0 Komentar