Pantun Warisan Budaya Dunia



Oleh: Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar


Pada 20 Agustus 2017 saya memenuhi undangan Final Festival Pantun Spontan Ala Irwan Prayitno. Acara bertempat di Tugu Merpati Perdamaian, Padang. Finalis yang terpilih dan diundang sebanyak 50 peserta dari berbagai kota dan kabupaten di Sumbar. Sementara jumlah peserta yang mengirim pantunnya ke email panitia sebanyak 871 orang. Sedangkan jumlah pantun yang diterima panitia lebih dari 8000 pantun. Acara ini diadakan untuk pelajar SMA/MA/SMK.

Pantun yang sudah ada selama ini bisa dikategorikan ke dalam beberapa aliran atau mazhab. Seperti pantun Minang yang terdiri dari 9 suku kata. Pantun sastra Melayu, yang jumlah suku katanya 10, 11, dan 12. Pantun Minang klasik, di mana isi dari sampiran mendukung kepada pantun yang sesungguhnya, tentunya berbahasa Minang.

Pantun terdiri dari sampiran dan isi. Sampiran biasanya terdiri dari dua baris, dan isinya dua baris. Isi atau pesan pantun berada pada dua baris terakhir. Pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang dikenal oleh berbagai etnis di Nusantara khususnya Melayu. Sehingga dikenal ada pantun Betawi, pantun Riau, pantun Sumatera Utara, pantun Kalimantan Selatan, dan lainnya. Dan sifat pantun biasanya sangat dinamis, mengikuti perkembangan zaman, karena pantun adalah hasil kreativitas manusia.

Salah satu bentuk puisi lama yang sudah dikenal adalah gurindam. Gurindam yang terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Sementara gurindam sendiri terpengaruh dari sastra Hindu. Namun demikian, pantun bisa dikatakan sebagai bagian dari budaya Melayu Nusantara. Dalam hal ini Melayu Islam.

Jika melihat jenis pantun, ternyata bermacam-macam. Ada pantun adat, pantun agama, pantun budi, pantun jenaka, pantun kepahlawanan, pantun kias, pantun nasihat, pantun percintaan, pantun perpisahan, pantun teka-teki, pantun lucu, dan lainnya.

Secara umum pantun terdiri dari empat baris. Dua baris pertama adalah sampiran, dan dua baris terakhir adalah isi atau pesan. Huruf kata terakhir biasanya berpola a-b-a-b atau a-a-a-a. Jika ada yang berpola a-b-b-a atau a-a-b-b, maka itu bukan pantun.

Terkait penggunaan suku kata atau huruf kata yang sama, kita juga bisa melihat di dalam Al Quran. Misalnya Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. Suku kata terakhirnya berbunyi sama. Al Quran memang berisi kesusasteraan tingkat tinggi. Tidak akan bosan orang mendengarkan bacaan Al Quran, apalagi yang membacanya memiliki suara bagus. Apakah ada hubungan antara bunyi suku kata terakhir dalam ayat Alquran dengan pantun yang dilahirkan oleh kaum melayu nusantara? Ini bisa menjadi diskusi menarik.

Jika melihat mazhab pantun, pantun yang saya buat secara spontan dalam memberi sambutan di acara resmi pemerintahan ini memang tidak termasuk ke dalamnya. Karena pantun yang saya sampaikan dimaksudkan untuk menyampaikan pesan dan sekaligus membiasakan pantun sebagai budaya yang sudah berkembang sejak lama di masyarakat.

Karena pantun yang saya sampaikan selama ini lebih banyak di acara formal terkait pemerintahan, maka bahasa yang digunakan kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia dibanding bahasa Minang. Pantun pun bersifat spontan, sesuai dengan tema, situasi, keadaan, kondisi dan tujuan acara.
Indonesia bersama Malaysia telah mengajukan pantun kepada UNESCO, yang merupakan Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan. Pantun dimasukkan sebagai daftar Warisan Budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage.

Sebelumnya, Indonesia bersama Malaysia, Thailand, Singapura, dan Brunei Darussalam yang akan menjadikan pantun sebagai nominasi multinasional. Namun setelah melihat kesiapan, akhirnya hanya Indonesia dan Malaysia yang siap.

Hingga saat ini sudah ada warisan dunia dari Indonesia yang diakui UNESCO yaitu angklung, batik, keris, noken, tari saman, tari bali, dan wayang. Semoga pantun yang selama ini hidup di tengah masyarakat juga bisa masuk ke dalam warisan dunia yang diakui UNESCO.

Dan bagi kita, semoga bisa turut melestarikan budaya pantun dalam kehidupan sehari-hari. Karena di tengah penggunaan bahasa yang kadang cenderung kasar, terutama di media sosial, membudayakan pantun mampu menghaluskan bahasa sehingga lebih beradab namun tetap dinamis dan bersifat kekinian. ***

Singgalang, 30 Agustus 2017


Posting Komentar

0 Komentar