Aldo dan Hari Anak Nasional



Oleh Ngesti Wihayu

“Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini, ingin itu banyak sekali…”


Demikian sepenggal lagu yang beberapa dasawarsa ini kita dengar. Lagu yang sangat lekat dengan dunia anak-anak. Meskipun penggalan lagu tersebut adalah sountrack salah satu serial animasi televisi, namun jika ditilik lebih dalam dari sisi semantik, lagu tersebut memiliki banyak sekali dimensi. Tentunya dimensi anak-anak.

Kepolosan anak-anak terwakili secara gamblang dalam bait lagu tersebut. bukankah semua anak-anak menginginkan banyak hal, segala sesuatu yang dirasa menyenangkan pasti tak kan luput dari imajinasi anak-anak kita. Dari ingin makan es krim, nonton animasi, bahkan ingin jadi presiden. Bebas, semua dapat dibangun dalam imajinasi anak-anak sebagai monolog tanpa harus menimbang situasi, kondisi, dan dompet yang harus diisi.

Bagaikan gayung bersambut, apa yang dimaknai secara lugas dari lagu di atas seakan difasilitasi oleh dunia. Akses internet yang tak berbatas, media informasi yang tersebar di seluruh penjuru negeri bahkan saat kita tengok di kanan-kiri tempat tinggal kita, tidak sedikit fasilitas umum yang menawarkan pusat permainan untuk anak-anak.

Dari sisi pendidikan pun demikian, anak-anak diberikan pilihan menuntut ilmu sesuai kemauannya. Sekolah alam, fullday, boarding, bahkan sekolah berbasis praktik. Pemerintah maupun swasta memberikan berbagai pilihan yang dapat disesuaikan dengan passion anak-anak.

Demikian pula kondisi anak-anak di Sorong. Saya yakin, apabila ditanya apa keinginan mereka, maka akan muncul beragam jawaban yang muncul dari imajinasi mereka. Entah pendidikan, hiburan, aktivitas harian, bahkan cita-cita.

Kabar gembira dirilis BPS Papua Barat pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa anak-anak di Kota Sorong  usia 7 tahun memiliki Harapan Lama Sekolah hingga Diploma 2. Hal ini bermakna bahwa tingkat pendidikan dan pemenuhan kebutuhan hidup anak-anak di Kota Sorong masuk dalam kategori tinggi.

Hasil survei tersebut didukung dengan keberadaan lembaga pendidikan dari kelas bawah, menengah hingga lembaga yang diperuntukkan masyarakat atas menyebar di Kota Sorong. Belum tempat hiburan untuk anak-anak, dari level pinggir jalan hingga kelas mall bisa diakses dengan mudah. Namun sayang, tidak semua anak-anak di Kota Sorong dapat menikmati fasilitas tadi.

Tidak dapat dielakkan, fakta di lapangan masih banyak ditemui anak-anak yang lepas dari pantauan sekolah di jam belajar. Bahkan tidak sedikit yang mengaku tidak sekolah karena alasan biaya. Yang lebih membuat miris adalah masih banyaknya, anak-anak yang terlihat menghirup lem aibon dengan bebas di pinggir-pinggir jalan dan berakhir dengan membuat keributan.

Sangat disayangkan ketika menyaksikan anak-anak usia sekolah masih di pinggir jalan, emperan took untuk menjadi tukang parkir dadakan di siang  hingga malam hari. Waktu dimana seharusnya mereka berada dalam dekapan hangat keluarga yang membimbing belajar untuk esok hari. Namun apatah dikata, kondisi ekonomi orang tua mengharuskan anak-anak tadi berada di jalanan.

Kondisi ini tentu sangat kontraproduktif dengan hasil survey BPS di atas. Harapan Lama Sekolah yang seharusnya dapat difollow up dengan kebijakan-kebijakan kerakyatan, belum menjamah secara menyeluruh anak-anak asli Papua.

Meski demikian, apresiasi terbaik juga harus diberikan kepada keluarga yang mampu meotivasi anak-anak untuk menuntut ilmu, meski harus berjalan kaki berkilo meter jauhnya. Namanya Aldo, satu siswa tingkat menengah pertama yang tinggal di Viktori dalam, Kilometer 10. Untuk dapat sampai ke sekolah, setiap hari ia bersama beberapa orang harus berjalan kaki lebih dari dua kilometer hingga sampai di jalan raya. Perjalanan ia lanjutkan dengan naik taksi (baca: angkot) atau terkadang menumpang mobil pick up yang lewat.

Kondisi demikian tidak hanya dialami Aldo, anak-anak dari Pulau Doom, Pulau Buaya, dan di Distrik Sorong Kepulauan lainnya harus menggunakan taksi laut ataupun jonson (kapal mesin kecil) untuk menyeberangi lautan supaya dapat sampai di sekolah yang terletak di pusat Kota Sorong. Perjuangan anak-anak dan orang tua yang peduli dengan masa depan bangsa ini kiranya menjadi satu gambaran bahwa masih banyak pekerjaan rumah bagi kita bersama.

Di lain pihak, kita harus turut berbangga ketika tidak sedikit masyarakat yang kemudian membuka lembaga pendidikan nonformal dan semiformal untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak Papua. Gerakan-gerakan sporadis yang dilakukan secara swadaya ini seharusnya mendapat suport penuh dari pemerintah kota yang nota bene memiliki alokasi dana otonomi khusus yang tidak sedikit jumlahnya. Saya tidak ingin membahas tentang dana otsus dan alokasinya. Hanya saja, saya yakin pemerintah Kota akan memikirkan formulasi serta kebijakan-kebijakan terbaik untuk masyarakat, terutama OAP (baca: Orang Asli Papua).

Ketertinggalan pendidikan dan penerimaan pendidikan yang rendah secara tidak langsung menjadi pencetus terputusnya proses pengembangan sumber daya manusia lokal yang handal. Alih-alih berbicara kepemimpinan lokal di masa mendatang. Pemenuhan hak belajar untuk anak-anak Papua masih seperti “jauh panggang dari api”.

Pada akhirnya, momentum Hari Anak Nasional yang ditetapkan tanggal 23 Juli sesuai keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 harus jadi titik balik untuk anak-anak di Indonesia dalam pemenuhan hak hidupnya. Baik dari aspek pendidikan, bersosialisasi, bebas dari kekerasan dan bullying, serta jaminan mendapatkan pengayoman dari masyarakat dewasa di sekitarnya.

Anak-anak Papua tidak boleh lagi menjadi ikon anak-anak marginal. Sudah saatnya pemerintah setempat, akademisi, pegiat sosial, dan masyarakat secara menyeluruh menjadi pegayom, pengontrol, pengawas, dan pelopor pengembangan kualitas anak-anak Indonesia. Maka tidak berlebihan kiranya, jika pesan “Lindungi Anak Kita, untuk Masa Depan Bangsa” menjadi satu jargon yang musti digaungkan.

Perlindungan tidak hanya dari sisi fisik dari kekerasan, psikis dari bullying, bahkan perlindungan hak-hak anak-anak termasuk hak untuk belajar dan hidup dengan layak. Sekali lagi, ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah Kota Sorong semata. Para akademisi memiliki tanggung jawab secara etik dan moril untuk mengangkat dan mengembangkan sumber daya manusia di Tanah Cendrawasih dengan membangun sinergitass yang dapat melewati batas SARA.





Posting Komentar

0 Komentar