Berkah Berjamaah


Oleh : KH DR Ahzami Samiun Jazuli MA

*Disampaikan pada Ziarah Syuyukh, 13 Oktober 2018*

Ni’mat berjamaah adalah ni’mat yang harus kita syukuri setelah ni’mat iman dan Islam. Ada tiga alasan mengapa ni’mat berjamaah harus kita syukuri, yaitu:

1. Kita mendapatkan pemahaman Islam yang benar dan syamil di dalam tarbiyah. Jika berangkat bukan dari berjamaah, maka pemahaman Islam kita parsial, sepotong-sepotong, tidak utuh dan tidak menyeluruh. Kalau Islam kita karena sejak lahir, maka keislaman kita belum tershibghoh. Dalam tarbiyah kita diberi pemahaman dulu sebelum berjamaah.
Pemahaman materi ma’rifatullah, ma’rifatur Rasul, ma’rifatul Islam, alwala’ wal baro’ itu membentuk fikroh kita dalam pemahaman Islam yang syamil, utuh dan tersibghoh dengan warna Islam. Sehingga jika menghadapi masalah timbangannya jelas ukurannya berdasarkan timbangan Allah, bukan hawa nafsu.

2. Ni’mat Ukhuwah
Dalam jamaah kita merasakan persaudaraan yang indah, berada dalam liqo seperti berada di dalam taman syurga. Semangat saling menasehati, saling menolong karena Allah. Dimanapun kita berdiam, kita bisa menemukan jejaring persaudaraan yang saling bekerjasama dalam dakwah. Orang yang baru saja dikenal seolah-olah seperti saudara kandung yang lama tidak bertemu, bisa  langsung akrab dan saling bersinergi disebabkan karena berjamaah. 

3. Tsiqoh
Pertemuan-pertemuan/liqo menjadi berkah karena adanya saling percaya (tsiqoh), sehingga menjadi keberkahan, tumbuh energi besar untuk membangun keluarga, masyarakat dalam rangka memperbaiki ummat. Maka kita membangun sekolah, membangun lingkungan yang dapat melahirkan generasi muslim yang beraqidah benar, berakhlaq mulia karena kita ingin membangun generasi yang lebih baik. Timbullah kantong-kantong masyarakat dan lembaga-lembaga yang kita dirikan yang memberi manfaat besar kepada ummat.

Kita harus mensyukuri ketiga nikmat ini, karena  Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7: ”Jika kamu bersyukur akan kami tambah, jika kamu kufur azab Ku amat pedih.”
Allah mengancam dengan azab. Bukan dengan pengurangan ni’mat. (Ngeri kan, bahaya kalau tidak mensyukuri ni’mat berjamaah, bisa Allah cabut ni’mat itu dan berganti dengan azab kesengsaraan dan penyesalan).

Mensyukuri ni’mat berjamaah adalah dengan menjaga dan memeliharanya dari kekacauan barisan dan keretakan yang bisa berakibat perpecahan.

Lalu apa yang menyebabkan orang lupa dengan ni’mat Allah?
Ini karena terhalang oleh penyakit hati, yaitu:

1. Merasa lebih tinggi (isti’la)
Ingat syetan tergelincir ke neraka karena merasa lebih baik dari Adam. Sifat merasa lebih senior, lebih berjasa, lebih cerdas, lebih pandai cari dana, lebih hebat, dan lebih berkapasitas.

Sebaliknya menuduh saudaranya under capacity, tidak pandai cari dana, tidak pandai orasi dan bernarasi, dan lain-lain. Sikap ini berbahaya dan bisa menggelincirkan.
Ingat kisah Nabi Musa ketika muridnya bertanya: “Adakah orang yang lebih berilmu dari engkau wahai Musa? Musa menjawab “tidak ada” Sepintas jawaban Musa ini ada benarnya, karena ia seorang nabi dan rasul, bahkan Ulul Azmi, senantiasa dalam bimbingan Wahyu. Tetapi apa yang terjadi? Allah hendak memberi pelajaran kepada Nabi Musa dengan memerintahkan Nabi Musa belajar dari seseorang yang tidak dikenal, orang yang tidak populer, namanya tidak disebut dalam Al-Qur’an, hanya disebut dalam hadits, yaitu Khidir agar Nabi Musa tahu bahwa ada orang yang lebih tinggi ilmunya daripada dirinya.

Berapa lama Nabi Musa belajar? Dalam S. Al-Kahfi Allah menyebut huqubah,  jamak dari haqibah. 1 hakibah = 80 tahun. Jika bentuk terendah dari jamak adalah 3 maka paling sedikit Nabi Musa belajar kepada Khidir selama 240 tahun untuk bersabar mengikutinya tanpa boleh bertanya sampai dijelaskan pada waktunya.

Sampai sekarang tidak diketahui status guru Nabi Musa apakah seorang wali atau seorang nabi. Tetapi ini menunjukkan orang berilmu tidak harus terkenal atau popular.

Pelajaran lain bisa kita petik dari kisah Rasulullah Muhammad SAW yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy yang berkedudukan, banyak pengikutnya, banyak hartanya. Dalam waktu yang bersamaan datang seorang buta dan miskin (Abdullah bin Ummi Makhtum) yang ingin masuk Islam dan membersihkan diri.
Dalam logika manusia, Rasulullah membidik dakwah para pembesar karena akan dapat banyak pengikut dan banyak hartanya untuk kemajuan dakwah, tetapi Allah mengajarkan bahwa menilai manusia itu bukan dari kedudukannya, atau hartanya, kecerdasannya, kepopulerannya, atau tampilan luarnya, tetapi dari kebersihan hatinya. Teguran Allah dengan menghadirkan seorang mad’u yang buta dan tidak terkenal.

Jadi dalam berjamaah harus totalitas untuk dakwah, bukan untuk tujuan lain (harta, kedudukan, popularitas). Jika ada tujuan atau kepentingan lain itu harus diperbaiki, diluruskan, dibersihkan dari niat-niat yang lain. Namun ketika dinasihati dan diluruskan malah membuat wadah baru, membuat tandingan, melemahkan barisan jamaah. Ini berbahaya karena menjaga persatuan adalah wajib dan jelas dalilnya. 

Kalau sudah jelas dalilnya tak perlu ada ijtihad lain.
Semua dalil untuk berijtihad batal karena dalil alQur’an jelas dan tegas. Misalnya Q.S. Ali imron 103, tidak perlu ada penafsiran lain, tidak perlu ada ijtihad lain, karena akan menabrak dalil Al-Qur’an.

2. Ghurur (tertipu dengan diri sendiri)
Orang yang merasa dirinya lebih cerdas, lebih berjasa, lebih senior, akan terjebak dengan dirinya sendiri, dan setan akan membuatnya tergelincir.

Orang alim yang luas ilmunya bisa tergelincir disebabkan dia tertipu dengan kehebatan dirinya, disebabkan hawa nafsunya terkagum-kagum dengan dirinya.

Janganlah berdakwah karena (baca:untuk mengikuti) si fulan, karena si fulan bisa berubah. Berdakwahlah karena Allah, untuk Allah, bukan karena si fulan lebih pandai orasi, lebih pandai cari dana, dan lebih cerdas.

Kaum mu’tazilah tergelincir dengan kecerdasannya. Dia mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk Allah, padahal tidak ada dalil yang mengatakan Allah menciptakan Al-Qur’an. Yang jelas ada bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an.
Kalau dikatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka makhluk itu lemah, bisa salah bisa lupa. Sedangkan Al-Qur’an itu pasti benar, tidak ada keraguan padanya.

Di masa mazhab Abu Hanifah, ada seorang muridnya yang mengatakan luar biasa ini mazhab, tidak ada yang akan mengalahkannya. Jika ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang bertentangan dengan pendapat Imam Abu Hanifah, maka ayat tersebut harus ditafsirkan ulang, ayat atau hadits tersebut harus di nasakh (diganti). 

Sikap ini salah dan membahayakan karena tertipu dengan dirinya sendiri. Dan bisa menyebabkan orang menjadi taklid buta, tidak lagi menyandarkan pendapatnya kepada kitab Allah dan sunnah tetapi pendapat dan pemikiran orang yang dikaguminya.

Sebab-sebab taklid (ikut-ikutan tanpa tahu apa yg diikuti) adalah :

1. Jahil, karena itu belajarlah supaya tafaqquh fiddiin; jangan mengikuti nenek moyang.

2. Ghuluw. Jangan berlebihan dalam mencintai dan dalam membenci. Orang Yahudi berlebihan kepada Uzair. Orang Nasrani berlebihan kepada Isa as (menganggap Isa Tuhan). Mengagumi seseorang tokoh, ustadz sekedarnya saja.

Dunia adalah tempat ujian. Tidak ada yang abadi. Nabi Sulaiman as diuji dengan kekuasaan dan kekayaan. Nabi Sulaiman bersyukur.

Nabi Ayub diuji dengan kemiskinan dan penyakit, tetap bersabar. Allah berfirman : ni’mal abdu innahu awwaab (sebaik-baik hamba;  adalah yang taat kepada Allah).

3. Pembenaran (Tabrir)
Tabrir adalah seseorang yang merenung, memikirkan sesuatu, kemudian pendapatnya dicarikan dalil, supaya seolah-olah benar sesuai dengan Al-Qur’an itu adalah cara yang salah.
Yang benar adalah Al-Qur’an dulu, hadits dulu, baru pendapat ulama, istimbat hasil pikiran manusia.
Setiap ucapan bisa diterima atau ditolak kecuali Al-Quran. Karena Al-Qur’an wajib diterima. Bila hal ini dibalik, berbahaya. Merenung dulu, lalu memaksakan dalil-dalil sebagai pembenaran itu sama dengan membelakangi Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an dipakai untuk membenarkan pendapatnya.
Harusnya bersikaplah seperti Umar bin Khahtab. Ketika Umar membatasi mahar supaya meringankan para bujang untuk menikah, maka diprotes oleh shohabiyah Khaulah binti Tsa’labah: Mengapa engkau membatasi sesuatu yang Allah tidak membatasinya? Umar langsung beristighfar dan mengakui kesalahannya. Umar salah, dan wanita ini benar (padahal tujuan Umar baik, agar para bujang dan gadis cepat menikah tidak dibebani dengan biaya mahar yang mahal. Tetapi begitu diingatkan, Umar segera menerima, tidak mencari-cari dalil pembenaran)

Bagaimana solusinya?

1. Iltizam kepada jamaah
Hidup bukan untuk kenyamanan, tetapi sebagai ujian. Manusia diuji untuk mencapai derajat ahsanu amala (sebaik-baiknya amal). Jika mencari kenyamanan nanti di surga Allah. Orang yang diuji harus sabar. Sepasang suami istri jika ada masalah, apakah dia langsung bercerai? Apakah dijamin jika bercerai tidak ada masalah? 

Hidup untuk mendapatkan keberkahan. Berkah ada di dalam berjamaah, ada suasana ta’liful qulub (ikatan hati), saling menasehati, dan saling menolong. 

Apakah kita yakin jika kita keluar dari jamaah akan lebih baik, lebih sholeh, lebih taat kepada Allah, lebih ikhlash?

Dimanapun kita hidup ada masalah, bersabarlah menyelesaikan masalah, bukan membubarkan rumah tangganya lalu bikin rumah tangga baru. 

Apakah orang yang sholat berjamaah, jika imamnya salah, bubar sholatnya, keluar dari barisan sholat? Tidak. Sholat tetap bisa dilanjutkan. Adapun kesalahan imam, tanggung jawab sang imam. Makmum tetap bisa menyelesaikan sholatnya.

2. Shidqu (jujur/benar)
Rasulullah bersabda: dua orang yang bertransaksi semoga diberkahi Allah jika dia jujur (perhatikan syarat keberkahan jika jujur, bukan jika cerdas).

Dalam kejujuran ada keberkahan. Menurut Imam Suyuti, seluruh kata Tabarok diisnadkan (disandarkan) kepada Allah. Keberkahan itu milik Allah, kita disuruh meminta keberkahan dari Allah. Bahkan kita diperintah berselawat dan memohon keberkahan untuk baginda Nabi. Artinya Nabi juga tidak punya keberkahan, tetapi diberi keberkahan oleh Allah. 
Supaya kita mendapat keberkahan, harus beriman dan bertakwa (Q.S. Al-A’raf 96).

Qiyadah dan jundi yang ingin diberkahi harus dekat dengan Allah, pelihara ibadahnya, sholat berjamaah di masjid,  rajin mensucikan  diri, supaya terbebas dari fitnah, riya, kotoran dan dosa dari menzholimi saudaranya.

Dalam proses seleksi menaikkan jenjang seorang kader, syaratnya adalah  benar aqidahnya, baik akhlaknya, ketaatannya, ibadahnya, kemanfaatan dirinya bagi orang lain, dan siap menanggung beban baik, jadi jundi maupun qiyadah. Tidak ada syarat misalnya orangnya harus cerdas, harus kaya (pandai cari dana), pandai orasi. 

Jamaah tidak butuh orang luar biasa, tetapi butuh orang biasa namun hidup total untuk dakwah. Qiyadah yang lemah akan kuat bersama jamaah. Jika lemah dalam hal kemampuan orasi, ada anggota jamaah yang pandai orasi. Kekurangan dana, akan Allah bukakan jalan dan rezeki dari keberkahan berjamaah.

Rasulullah yatim, sendirian ketika memulai dakwah, tetapi Allah bukakan jalan dan sarananya dengan dakwah, dengan harta Khodijah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat yang lain.

Keikhlasan dan kejujuran Sayyid Quthb dalam totalitas membela dakwah, sampai dipenjara dan mati di tiang gantungan, dia tidak mau meminta ampun kepada Gamal Abdul Nasser karena yakin membela kebenaran. Sayyid Quthb berkah namanya, harum ke seluruh penjuru dunia, lebih terkenal daripada ketika masih hidup. Buku-bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa menerangi jalan dakwah generasi setelahnya. 
Itulah berkah.

Posting Komentar

0 Komentar