Kreatif di Kala Futur


Kreatifitas dibutuhkan untuk mendobrak kejemuan. Termasuk untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, karena keimanan itu fluktuatif, naik dan turun. Hati manusia yang berada di “dua jari Allah swt”, kadang mengalami rasa giat, dan kadang mengalami kejenuhan.Oleh karena itu, Ali bin Abi Thalib berpesan: “Hiburlah hatimu sedikit demi sedikit, sesungguhnya hati itu apabila tidak suka, menjadi buta. Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana fisik juga bisa bosan, maka carilah untuknya keindahan hikmah (kebijaksanaan).”

Tapi tulisan ini bukan bermaksud mengajak kita kreatif untuk mengada-adakan ibadah yang baru yang tidak dikenal dalam Islam sebelumnya. Bukan itu. Tapi kreatif untuk mengakali mood yang turun, agar dalam futur kita tidak terlalu jauh dari Allah swt.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang futur tetap dalam keadaan diatas sunnah, maka ia akan mendapat hidayah. Dan barang siapa yang futur tidak diatas sunnah, maka ia akan celaka”.(Hadits riwayat Imam Abu Dawud). Secara Etimologi arti futur adalah diam setelah giat dan lemah setelah semangat.

Sudah cukup banyak artikel yang membahas tentang futur. Dan yang bisa saya tuangkan hanyalah beberapa tetes ide yang mengalir di kepala saya, dan beberapa berasal dari pengalaman saya.

Bahan bacaan di kala futur

Saat hati melemah, ada baiknya selektif memilih bahan bacan. Bahan bacaan yang bisa membangkitkan gelora untuk berjuang di jalan Allah, berbuat sesuatu untuk menolong keadaan umat Islam yang sedang terpuruk, memang baik. Tapi apakah bahan bacaan itu cocok untuk hati kita yang sedang lemah?

Tiap orang berbeda, tetapi disaat rasa bosan menyerang, saya lebih memilih bahan bacaan yang akan membangkitkan semangat beribadah kepada Allah swt. Bacaan-bacaan seperti fadhilah/keutamaan sholat tahajud, membaca Al-Qur’an, shoum sunnah, sholat sunnah, juga bacaan tentang keadaan saat sakaratul maut, keadaan dalam qubur, dan di akhirat; adalah bacaan yang saya pilih saat hati melemah. Saya menghindari bacaan yang akan banyak membuat saya memeras otak dan berfikir lebih rumit. Bacaan-bacaan seperti itu bisa optimal saya lahap kalau semangat saya sedang naik.

Sekali lagi, tiap orang bisa berbeda keadaannya. Butuh eksplorasi atas diri kita sendiri.

Mencari jalan untuk membangkitkan harapan kepada Allah.

Saya pernah tinggal di sebuah daerah, di mana bila saya hendak pergi kemasjid yang dekat dengan rumah, ada sebuah jalan yang melewati kuburan. Tapi jalan utama menuju ke masjid itu tidak melewati kuburan. Dan saya lebih sering menghindari kuburan untuk mencapai masjid.

Jalan yang melewati kuburan itu kadang saya lalui kalau saya terkena futur. Tidak, saya tidak hendak meminta-minta pada kuburan agar hati saya semangat lagi. Tapi saya cuma memanfaatkan rasa penakut saya, agar ketika melewati kuburan, timbul harapan kepada Allah swt agar dihindarkan dari kejadian yang seram-seram. Ketika melintas di dekat kuburan itu hati saya akan banyak berdzikir kepada Allah swt dan mengakui kesalahan-kesalahan saya.

Yah, itu memang cara yang agak aneh. Padahal seharusnya saat melintasi kuburan, saya mengingat kematian, mengingat adzab kubur dan susahnya kehidupan di sana, dari pada memanfaatkan rasa takut saya. Karena dengan mengingat adzab kubur itu seharusnya bisa membangkitkan harapan kepada Allah swt.

Ada banyak cara lain untuk membangkitkan harapan kepada Allah swt. Mudahnya, benturkan saja diri kita dengan apa yang kita khawatirkan.

Terkadang ada saat-saat kita terlingkupi dalam comfort zone. Semua nyaman. Finansial, jauh dari masalah. Karir, jelas terlihat jalannya. Kesehatan prima. Keadaan seperti ini bisa memancing rasa tidak memerlukan Allah swt dalam diri kita. Bahaya!!! Dan lebih berhaya lagi apabila hati melemah saat terlena dengan keadaan nyaman.

Oleh karena itu bisa diterima kalau ada yang bilang musibah itu adalah nikmat. Karena melalui musibah, ada kenikmatan yang Allah berikan – kalau kita mau meraih kenikmatan itu. Yaitu kenikmatan rasa memerlukan Allah swt.

Ada taujih yang selalu terngiang dalam pikiran saya. Taujih yang saya terima saat i’tikaf di masjid Al-Madani di Padang pada akhir 1999 dan awal tahun 2000. Dalam taujih itu, para pendengar diminta untuk mencari tantangan. “Cobalah jalan ke hutan sendirian, dan bekali diri kita hanya dengan sebuah pisau. Di situ kita akan merasa sangat memerlukan Allah swt. Selama ini mudah sekali kita mendapat makanan. Kalau tidak ada makanan di rumah, di luar banyak yang menjual. Tapi kalau di hutan, kita akan merasa kesulitan sehingga tumbuh rasa harap kepada Allah swt.

Atau coba jalan-jalan ke Muara (daerah pantai di Padang), kayuh sebuah perahu ke tengah laut. Di tengah laut itu, dirikan sholat sunnah 2 rakaat. Saat itu resapi, bagaimana kita sangat bergantung kepada Allah swt. Bisa saja ada ombak besar menghantam perahu kita sehingga kita jatuh ke laut. Di situ kita dilingkupi kecemasan sehingga kita berharap kepada Allah swt.”

Redaksi taujihnya tidak mungkin sama, tapi intinya seperti itulah. Taujih itu yang memotivasi saya untuk kreatif ketika dilanda futur.

Zico Alviandri

8 Oktober 2010

Posting Komentar

0 Komentar