Kisah : Lelaki Langit Itu Telah Kembali



By : Hendra Suryakusumah

Tiba2 aku kebangun. Ketika jarum jam 2.34 pagi. Setengah mengantuk aku bergegas ke kamar kecil.

Enam detik kmd aku terpaku heran. Sdh ada ibu berdiri di depanku. Kenapa ibu ada di sini? Bukankah almarhumah sdh lama meninggalkan kami. Rasa kantung kemih penuh mendadak hilang ditelan bumi. Seorang lelaki yang tak kukenal berdiri di samping ibu. Badannya kurus, wajahnya tirus.

“Mas Bagus, ibu njaluk tulung yo.
(Ibu minta tolong). Kalau umrah titip ini", ujar ibu dg logat Jawanya yang kental sambil menunjuk lelaki di sampingnya.

“Nggih Bu. Tapi nyuwun sewu, niku sopo toh?” (iya bu, tapi maaf itu siapa) tanyaku heran. Ibu tdk menjwb.

Lelaki itu kupandangi kemudian.

IMRUL. Aku melihat itu di atas saku kemejanya. Di bawahnya ada berderetan angka. Jelas sekali semuanya terbaca.

Tiba2 aku terbangun & mengerjapkan mata.

“Mas Bagus mimpi lagi ya?” ujar istriku lembut sambil membelai kepalaku.

Jantungku berdegup keras.

“Ini sudah 3 kali mimpi yg sama,” ujarku sambil bergegas pergi ke kamar kecil. Jarum jam 4.34 pagi. Adzan Subuh berkumandang.

Sopirku Pak Sanusi, mendengus pelan di belaka ng kemudi. Jakarta padat merayap malam hari ini. Duduk di kursi belakang, aku sibuk dg Mac Book Pro menyelesaikan laporan audit tahunan yg hampir jatuh tempo. Saat Pak Sanusi meliuk kan Toyota Camryku, aku jadi teringat pd mimpi semalam.

Almarhumah ibu dan Ielaki yg tak pernah aku jumpa. Kemeja bertuliskan Imrul & sederetan angka.

Mungkinkah deretan angka itu nomor handpho ne? Apakah lelaki itu namanya Imrul?

Suara nada tunggu digantikan ucapan salam ter dengar dari seberang sana, saat aku coba hubu ngi nomor tsb. Suara perempuan.

“Apa saya bisa berbicara dg Pak Imrul?”, tanyaku sedikit ragu.

Hening tak ada jwban sampai beberapa menit kemudian.

“Assalamu’alaiku, Iya ini dg Imrul,” suara lelaki sopan.

Deugh !! Ini pasti cuma kebetulan, dan jantungku berdegup keras.

Tak ingin berlama-lama di telepon, malam itu aku menyambangi rumah Imrul, lelaki kurus ber wajah tirus tsb. Usianya sekitaran 30 plus- minus.

Kami lesehan di atas lantai semen yg sebagian nya retak, di ruang tamu sebuah rumah petak.

“Panggil Mas Imrul saja,” ujarnya sopan. Aku tersenyum bercampur heran. Dari wajahnya, memang dialah lelaki yg ada dlm mimpiku itu.

“Kalau boleh tahu, Bpk dpt nomor telepon ini dari mana?”

Dan berceritalah aku tentang mimpi aneh yg berulang 3 kali itu. Mas Imrul diam. Wajahnya makin tirus mirip kucing restoran berharap makanan.

“Apa sampeyan pernah bertemu almarhumah ibu saya?" tanyaku sambil menyodorkan foto almarhumah di Instragram-ku. Tak perlu waktu lama buatnya untuk berkata tidak. Aku menggaruk kepala.

“Mas, kalau bukan krn almarhumah ibu, saya tidak akan pedulikan mimpi itu”, ujarku pelan sambil memegang pundaknya. 

“Saya ingin mengajak Mas Imrul pergi umrah.”

“Tapi saya ini mantan napi Pak. Belum sebulan bebas,” ujar Mas Imrul ragu. Sptnya dia tidak percaya dg ucapanku / ajakanku umrah.

Bulu tengkuk di leherku berdesir aneh.

“Sampeyan dulu kenapa masuk penjara?” tanyaku, duduk di samping Mas Imrul yg sdg terpesona. Seumur hidupnya dia baru pertama kali naik pesawat sebesar ini. Perjalanan 9 jam di kelas bisnis Jakarta - Jeddah, mubazir rasa nya kalau tdk mencari tahu tentang dia. Lelaki biasa, mantan narapidana ini.

“Sebelum masuk bui, kerja saya sbg satpam. Belum setahun, kantor yg saya jaga kerampo kan. Teman sesama satpam, ternyata berkom plot. Dua hari sesdh kejadian, semua pelakunya diringkus polisi. Di pengadilan, teman itu berbo hong kalau saya ikut terlibat. Padahal, waktu kejadian malam itu saya diikat di toilet. Hakim lebih percaya dia, akhirnya saya dipenjara. Vonisnya dua tahun,” ujar Mas Imrul.

Aku menghela nafas.

“Sebenarnya, yg bikin saya sedih bukan itu Pak,”sambung Mas Imrul. Air matanya sedikit meleleh.

“Lalu apa Mas?” tanyaku penasaran.

“Saya gundah & khawatir. Kalau saya di penjara, siapa nanti yg akan merawat ibu. Saya anak satu-satunya. Apalagi ibu sdh lama lumpuh & tdk bisa melihat. Setiap hari saya menyuapi dan me mandikannya. Biar gaji kecil, setiap bulan saya selalu cukupkan membeli susu Ibu. Biar ibu tetap sehat.” Kali ini bulir air matanya mulai berjatuhan.

Duh Gusti Allah, ternyata aku jauh dibanding Mas Imrul. Waktu almarhumah ibu dirawat di rumah sakit menjelang wafatnya, aku malah sibuk persiapan rapat pemegang saham perusahaan. Astaghfirullah.

“Terus siapa yg mengurus ibunya Mas Imrul?” tanyaku sembari mengelap mata. Tak terasa aku ikutan menangis juga.

“Saya minta tolong Mbak Yuni, saudara jauh dari kampung. Itu lho, perempuan yang menerima telepon Pak Bagus tempo hari. 
Kebetulan saya masih ada sedikit tabungan, jadi semua uangnya dipakai buat mengurus ibu selama saya di penja ra. Dia yg mengurus ibu semenjak itu. Saya min ta dia datang tiap hari ke penjara, menceritakan kondisi ibu. Kalau Mbak Yuni datang & cerita ttg Ibu, hati saya lega rasanya. Hati selalu was-was kalau Mbak Yuni datangnya telat, khawatir ada apa-apa pd Ibu.”

Aku cuma menunduk. Malu pd lelaki di samping ku ini. Jabatanku  mentereng, gaji ratusan juta, tetapi tak bisa dibandingkan dg ketulusan Mas Imrul dlm merawat ibunya. 

Gusti Allah, apa yg Engkau mau dari pertemuan aku dg lelaki sholeh ini? Biar aku sadar kesalahanku? Bukankah per cuma karena almarhumah sdh tiada?

“Baru 6 bulan di penjara, Mbak Yuni kapan itu gak datang dua hari Pak”, Mas Imrul melanjut kan ceritanya. “Saya was-was. Ternyata Ibu saya meninggal dunia Pak. Sedihnya lagi, Pak sipir penjara nggak ngebolehin saya keluar se bentar buat nyekar ke makam. Saya cuma bisa nangis di penjara Pak. Mohon ampun sama Allah.”

Air mataku menderas. Duh Gusti Allah, cobaan hidup lelaki ini ternyata berat. Aku belum tentu kuat menjalaninya.

“Mas Imrul kan vonisnya 2 th. Kenapa bisa bebas lebih cepat?” tanyaku sambil menyeka air mata.

“Oh, kalau itu krn kasus saya diperiksa kembali sama polisi dan pengadilan Pak,” ujarnya sam bil ragu mengambil kain hangat yg disodorkan awak kabin.

“Setelah sidangnya diulang, terbukti saya memang tdk bersalah. Teman yg berkomplot itu akhirnya berterus terang,” ujar Mas Imrul pelan. 

“Sebetulnya saya sdh memaafkan teman itu. Sejak pertama kali difitnah.”

“Sejak pertama kali sdh memaafkan?” tanyaku tambah heran.

“Iya Pak Bagus. Kalau ada orang memfitnah, buat saya cuma dua. Kalau fitnah itu benar, maka saya mohon ampun sama Allah. Tapi kalau fitnah itu salah, maka saya maafkan dan mohon ampunkan dia dari kemurkaan Allah,” ujarnya datar.

Deugh !! Aku langsung teringat fitnah yg menimpaku setahun yg lalu. Aku dituduh memanipulasi laporan pajak perusahaan. Si penuduh berhasil aku sikat habis di pengadilan. 

Aku beruntung dpt pengacara yg handal, tapi sekarang aku menye sal. Mengapa sepertinya kata maaf tidak pernah ada dlm kamus hidupku selama ini.

Ternyata lelaki ini bukan orang biasa. Mas Imrul, seorang satpam mantan narapidana, tdk terkenal di bumi, tapi terkenal di langit. Inilah lelaki langit yang semua malaikat pencatat kebaikan pasti mengenalnya.

Tiga hari di Mekkah kami menginap di Royal Clock Tower. Aku & Mas Imrul menghabiskan seluruh hari penuh dg ibadah. Tak cuma itu. Ada yg spesial di umrah kali ini & itu semua krn Mas Imrul. Aku biasa telat sholat fardhu, lalu sholat berjamaahnya cuma di dekat hotel. Tapi tdk saat bersama Mas Imrul. 

Kami selalu berada di shaf depan, melihat langsung Ka’bah. Aku belum per nah mencium hajar aswad pdh umrah berkali- kali, tapi tdk saat bersama Mas Imrul. Badannya yg kurus justru berhasil membawaku mencium batu hitam itu berkali-kali sepuasnya. Kami juga sholat di hijir Ismail & lama berdo’a di Multazam, antara hajar aswad & pintu Ka’bah. Semuanya lancar tanpa halangan.

Mas Imrul terlihat sangat menikmati perjalanan umrah ini. Dlm benakku, kalau pulang nanti dia akan aku pekerjakan sbg satpam di rumahku.

Hari keempat kami berangkat ke Masjid Nabawi, Madinah Al-Mukaromah. Dlm bis VIP Mas Imrul lebih banyak diam & berdzikir.

“Kalau saya perhatikan, Mas Imrul tak pernah kelihatan susah,” ujarku sambil memiringkan sedikit badan ke arahnya.

“Allah yg membolak-balikkan hati Pak,” ujarnya datar. 

“Maka mintalah itu pada-Nya. Kalau kita menjaga Allah, kita pun akan dijaga-Nya.”

“Maksudnya menjaga Allah itu bagaimana Mas?”

“Jaga Allah dgn menyempurnakan hari,” ujar Mas Imrul serius.

“Maksudnya bagaimana Mas?”

“Hari yg sempurna itu diawali dengan bangun malam. Sholat tahajjud & witir. Minimal 2 plus 1. Lalu Dhuha minimal 2, dan sholat rawatib yg jmlhnya 12 raka’at. Utamanya sholat sunnah fajar sebelum subuh. Selalu sholat wajib berja ma’ah di masjid. Membaca Al-Qur’an minimal 1 juz setiap hari. Senin-Kamis puasa sunnah. Itulah hari yg sempurna.”

Aku hanya terpana. Mobil camry dan rumah mewah hasil jerih payahku, jadi seperti harta tak bermakna.

Sampai di Madinah, setelah sholat ashar di masjid Nabawi, kami berdesakan menuju Rawdah. Area khusus dengan karpet hijau itu memang jadi rebutan para jama’ah. Kami menunggu gili ran dg sabar, berdiri di belakang pembatas putih. 

Ketika petugas masjid membukanya, serentak setengah berlari kami menuju pojok paling dekat dg tembok di sebaliknya makam Rasulullah ï·º

“Mas, ayo cepat sholat di sini. Perbanyak istighfar, shalawat & do’a. Ini salah satu tempat yg paling mustajab buat berdo’a,” ujarku sambil bersiap-siap sholat. Di sampingku Mas Imrul dg khusyu’ mendirikan sholat sunnah. Selesai sholat, aku duduk berdo’a di sampingnya yg masih berlama-lama sujud. Area rawdah sdh sesak dipenuhi jama’ah.

Tak sampai 10 menit kemudian, muncul petugas masjid menyuruh kami segera pergi. Waktu sdh habis. Sekarang giliran jama’ah lainnya yang sdh menunggu di balik pembatas putih. Aku melihat Mas Imrul masih sujud. Petugas masjid mene puk pundak-ku, menyuruh kami segera pergi. Entah do’a apa yang dipanjatkan Mas Imrul, mengapa begitu lama.

*Aku mengguncang halus punggungnya. Badan nya terguling lemah. Mas Imrul telah tiada. Wajah tirusnya tersenyum damai. Dia meninggal dlm keadaan terbaiknya. Husnul khotimah saat sujud di Rawdah, taman surga. Badanku lemas. Jantungku berdegup kencang. Lelaki langit telah kembali kepada Rabb-nya.

Aku duduk sendiri di kelas bisnis. Penerbangan Jeddah - Jakarta terasa lengang. Baru saja aku terlelap di kursi, suara awak kabin membangun kan para penumpang untuk makan malam, 6 detik kemudian aku terduduk diam. Kenapa ibu yg membangunkanku? Ibu kan sdh meninggal.

“Mas Bagus, matur nuwun sanget,” ujar ibu dg logat Jawanya yg kental & senyum khasnya......

Semoga menginspirasi

Salaam :)

Posting Komentar

0 Komentar