Catatan dari Taujih Ustadz Habib Dr. Salim Segaf Al-Jufri


oleh Suzy Mardiani

Beliau, Ketua Majelis Syuro' (KMS), sudah sejak Senin, 10 September berada di Surabaya untuk agenda “Surabaya bersholawat” Habib Syaikh bersama dengan tokoh-tokoh dari Partai Pengusung Prabowo-Sandi.

Dalam agenda tersebut, tidak ada satupun tokoh partai yang diberi kesempatan menyampaikan sambutan atau orasi untuk menjaga netralitas acara, namun beliau KMS diberi kesempatan memimpin doa.

Beliau juga sempat bertemu Habaib di Jawa Timur dan mereka menyatakan dukungannya atas pilihan PKS kepada Prabowo-Sandi. Mereka menegaskan bahwa saat ini satu-satunya partai islam adalah PKS.

Beliau KMS mengingatkan betapa besarnya nikmat kita dikaruniakan hidup di negeri Indonesia yang kaya, aman dan subur. Namun besarnya nikmat itu tidak diiringi dengan besarnya rasa syukur kita dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Rasa syukur kita masih begitu kecil, padahal jika kita tinjau dalam konteks bernegara, rasa syukur itu juga adalah perintah konstitusi.

Sebagai contoh misalnya adalah “ikut menjaga ketertiban dunia”. Dalam konteks Palestina misalnya, sangat sedikit yang bisa kita lakukan. Memang ada yang kita lakukan, tapi itu sedikit sekali.

Maka peran-peran kita dalam bernegara yang cakupannya masih sangat kecil dan terbatas itu harus kita perbesar dan tidak ada jalan untuk bisa memperbesar peran itu kecuali dengan BERKUASA.

Sementara itu kondisi pemerintahan sekarang sangat berkebalikan. Dalam konteks umat islam, misi mereka adalah menjauhkan peran masjid dari Ummat sehingga kesadaran ummat dalam berbangsa semakin jauh.

Belajar dari turki, upaya makar berkali-kali yang dilakukan oleh musuh Islam di Turki gagal total karena ummat dekat dengan masjid selain karena Islam mendapat dukungan tidak hanya dari ummat, tetapi juga dari kaum sekuler (BERKUASA).

Dalam upaya untuk memperbesar peran berbangsa itu, ternyata sebagai Partai Dakwah, gangguan itu tidak hanya datang dari EKSTERNAL, tetapi juga dari INTERNAL.

Kunci menghadapi gannguan INTERNAL ini, agar kita tetap solid adalah “jadikan INTIMA kita sebagai INTIMA DA’AWI bukan INTIMA SYAKHSY.

Qiyadah akan datang silih berganti, satu masa diganti di masa yang lain. Kalau intima kita adalah intima’ da’awi maka tidak akan menjadi masalah siapapun yang memimpin.

Kita akan loyal, mendukung bahkan jika ada anggapan bahwa qiyadah kita under capacity. Yang kita lakukan adalah memperkuatnya agar tidak lagi under capacity tapi menjadi upper capacity.

Bukan malah merongrong izzah jamaah dan melumpuhkannya. Sekali lagi karena intima kita kepada dakwah bukan kepada personal.

Ikhwah fillah, harap kita ingat bahwa penentu kemenangan dakwah itu bukanlah banyaknya UANG dan hebatnya kapasitas kader kita, tapi penentu kemenangan kita adalah RIDHO ALLAH.

Kemengangan itu adalah milik Allah. Apakah kita tidak belajar dari perang Badar dan Perang Uhud. Saat perang uhud jumlah kader kita melimpah, tetapi kita justru mengalami kekalahan.

Barang siapa bersandar pada harta, maka ia akan miskin. Barang siapa bersandar pada  harga diri, maka ia akan hina. Barangsiapa yang bersandar pada akal, maka ia akan tersesat. Namun, jika ia bersandar pada Allah, niscaya ia tidak akan miskin, hina dan tersesat” {Ali bin Abi Thallib r.a}

Ujian lain ketika dakwah berjalan adalah I’jab bin Nafs. Menganggap diri sendiri atau orang lain memiliki kontribusi dan peran yang lebih besar dari pada yang lainnya.

Padahal, jikalaupun ada, kemenangan itu semuanya adalah karunia dan takdir Allah.

Semua kader berkontribusi. Memang ada kader yang karena amanahnya, berada pada posisi yang popular, mudah dikenal oleh banyak orang, tapi tidak serta merta kader seperti ini lebih mulia dan lebih besar kontribusinya dari pada kader di bawah yang aktifitasnya ngisi liqo, dakwah dari rumah ke rumah, melakukan rekrutmen.

Ibarat tubuh, bagian yang paling mudah terlihat memang kepala, tapi ada satu bagian yang punya peran menyangga beban tubuh yaitu kaki, yang setiap hari diinjak-injak. Ada lagi bagian yang tidak terlihat tapi memegang peran sangat vital yaitu saraf.
Karena itu tidak layak Suzy Mardiani:
jika kita membanggakan diri kita merasa menjadi bagian paling penting dari dakwah ini. Ini adalah penyakit yang sumbernya adalah AZMATUL QULUB dan AZMATUN NUFUS, krisis hati dan krisis jiwa.

Ada golongan orang yang tidak dikenal oleh penduduk bumi, tetapi justru sangat dirindukan oleh penduduk langit. Siapakah mereka, yaitu orang yang berinfak dengan tangan kanan mereka sedangkan tangan kiri mereka tidak mengetahuinya.

Beginilah seharusnya kita berdakwah, tidak mengharap balasan, pujian, atau imbalan dunia dalam bentuk harta maupun jabatan.

Ikhwah fillah, harus kita ingat bahwa sunnah kauniyah kemenangan dakwah itu adalah “PANJANG dan SULIT JALANNYA”. Rosulillah meraih kemenangan dakwah setelah masa 19 tahun perjuangan dengan melalui berbagai ujian, cobaan dan tintangan. Apakah mustahil jika saat itu juga Allah menangkan dakwah beliau ? Sangat tidak mustahil.

Tetapi di antara hikmah panjangnya jalan itu adalah agar terlihat mana orang yang berjuang dengan ikhlas dan orang yang berjuang dengan pamrih. Panjangnya jalan itu menghasilkan ribuan syuhada yang mampu memberikan syafaat kepada keluarganya. Panjangnya jalan itu menghasilkan orang yang berinfak di jalan Allah.

Ada seorang kader menyerahkan mobil BMW dan uang 250 juta untuk dakwah. Tapi beliau tidak mau disebut namanya. Ketika saya tanya antum mau pulang naik apa, beliau bilang ana naik angkutan umum saja ust itu gampang. Ana ingin menyerahkan harta terbaik ana untuk dakwah. Lalu apakah kader kader seperti ini tidak berjasa untuk dakwah.

Belakangan kader tersebut kirim WA ke ana, Ustadz semua usaha ana maju pesat meskipun saat ini kondisi ekonomi serba sulit. Subhanallah. Bi qadarullah, bi barakatillah. Lalu ikhwah tersebut berjanji untuk mengirimkan kembali dana 500 jt dan mengajak puluhan teman pengusaha lainnya untuk berinfak fii sabilillah.

Apakah kader seperti ini tidak berjasa untuk dakwah ?

Posting Komentar

0 Komentar