Dari buku Materi-Materi
Praktis Ceramah Ramadhan
Jalan Taqwa :
Mu’ahadah
Kita sering lupa ‘kan dengan
janji-janji kita? Nggak mencatat? Nggak ingat. Sering mangkir. Maka Allah
mencegat, agar tak ada alasan lagi yang dibuat-buat. Di dalam surat Al-A’raaf
ayat 172, Allah mengabarkan perjanjian abadi kita sebelum lahir ke dunia.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini
Tuhanmu?’ Mereka menjawab : ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan : Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Sudah jelas sekarang, bahwa kita
semua sudah meneken kontrak dengan Allah SWT. Kontrak untuk beriman dan
menyembah hanya kepada Allah.
Karenanya mua’ahadah menjadi
jalan menuju takwa. Jalan sadar ada perjanjian besar yang harus dibayar. Jalan
agar ingat dan selalu taat. Mu’ahadah berarti mengingat perjanjian
kita sebagai makhluk dengan Allah Al-Khaliq. Perjanjian ini akan melahirkan
spirit yang dahsyat luar biasa. Berintegritas. Memegang aturan pribadi. Menjaga
kemuliaan. Merawat kepercayaan. Sebab kalau suka melanggar janji, hilanglah
kepercayaan yang diberi dan jatuhlah reputasi.
Urgensi Mu’ahadah yang perlu
dipahami, yakni :
1. Janji adalah Hutang,
Hutang sebagai
sesuatu yang wajib dibayar dan dipenuhi, apalagi bila janji itu dengan Allah.
Allah berfirman, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila engkau
berjanji.”
(QS An-Nahl ayat 91)
2. Ciri Keimanan,
Menepati janji
ciri-ciri orang mukmin yang super sukses ( cek QS Al-Mu’minun : 8)
Karena semangatnya menjaga
amanah, sekecil apapun. Ketika melanggar sebenarnya bukan pada kecilnya
pelanggarannya, namun sadarilah kepada siapa kita melanggar? Alah Yang Maha
Besar. Karena itu melanggar janji menjadi ciri khas dan spesifik orang munafik.
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga , bila berkata ia dusta, bila
berjanji ia ingkar dan bila dipercaya ia
khianat.” (HR.Bukhari)
3. Tanggung jawab pribadi,
Setiap janji
akan dimintai pertanggungjawabannya. Sehebat apapun argumentasi kita, Allah
akan membongkar semuanya. Tak ada yang bisa mengelak lagi. Mengapa?
QS. Yasin : 65,
“Pada
hari ini Kami tutup mulut mereka ; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan
memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahuu mereka usahakan.”
QS. Al-Isra’ : 36,
“Sesungguhnya setiap pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
“Sesungguhnya setiap pendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Mua’ahadah sebagai jalan
takwa, mesti ditempuh dengan sungguh-sungguh, kontinyu dan jujur sehingga dapat
terus istiqomah dalam berislam dan berdakwah di jalan Allah. Dalam lisan
menjaga kata. Dalam mata menjaga pandangan. Dalam hati menjaga kebersihan.
Dalam tangan menjauhkan kezaliman. Dalam kaki menjaga langkah, jauh dari dosa.
Mu’ahadah melahirkan
totalitas dan loyalitas, yakni “Iyyaaka na’buduu wa iyyaaka nasta’iinu”.
Sumpah setia abadi, Beribadah dan menghambakan diri hanya kepada Allah
serta memohon pertolongan hanya kepada Allah. Inilah doa lil ibadah sekaligus
doa lil isti’anah.
Mu’ahadah melahirkan
kesungguhan untuk terus berbekal dan menjaga amal. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
berkata, “Barangsiapa masuk ke kubur tanpa membawa bekal, tak ubahnya
menyeberang lautan tanpa perahu.”
Mu’ahadah menginspirasi
jiwa orang mukmin untuk senantiasa memperbaiki diri bila salah, khilaf dan
lupa, tidak larut dalam kesalahan panjang bertubi-tubi. Tidak hanyut dalam arus
duniawi yang melenakan. Tidak semrawut dalam beramal karena selalu
mempersiapkan diri, persembahkan amal terbaik, sebagai bukti janjinya.
0 Komentar