Ketika Tak Mampu Melakukannya Sendiri


(Cerpen Serial 5 Sahabat Muda PKS: Adi, Dilan, Kea, Eja, dan Tera)

“Ustadz, lebih baik kurban atau membantu korban bencana?”

Segaris bibir yang diapit kumis tipis dan janggut yang telah berwarna perak membentuk senyum. “Emang gak bisa dua-duanya?”

“Uang ana terbatas, ustadz. Ya kalo donasi sekian puluh ribu buat Lombok sih udah. Tapi kalau nanti uang ana terkumpul seharga hewan kurban, mana yang lebih afdhal?”

Senyum yang lebih lebar pun merekah. Hingga menampakkan susunan gigi seri yang putih rapi. “Berapa uang antum?”

“Saat ini baru kekumpul lima ratus ribu rupiah, ustadz. Kayaknya gak mungkin ya buat beli hewan kurban?” Nada pesimis menghias di ujung kalimat.

“Antum mau beribadah qurban?”

“Ya mau lah, ustadz. Ana lagi usaha semampu ana.”

“Kalau pun gak dapat beli hewan kurban, masih bisa kok beribadah qurban.”

“Hah? Bagaimana caranya, ustadz?” rasa penasaran terpancar.

***

Ketika hari sudah mulai terasa terik, bersesuaian dengan waktu “anak unta mulai kepanasan” seperti dalam hadits tentang Sholat Awwabin, dua remaja memasuki sebuah lokasi peternakan. Motor matic merah keluaran tahun 2014 berhenti di depan gerbang. Dua pengendaranya turun, kemudian menyalami seseorang yang telah menunggu mereka.

“Kok bisa nyasar? Kan udah ada google maps?” tanya orang yang menunggu dua remaja itu setelah mereka saling mengucap dan menjawab salam. Dari wajahnya, ditaksir usianya baru sekitar 30-an. Tak terlihat tua.

“Sempet ragu, pak. Ada banyak kandang ya di daerah sini.”

“Ooh. Iya sih. Kandang ini ada plang namanya kok,” sebuah telunjuk terangkat mengarah ke papan nama. “Oh iya, namanya siapa ya?”

“Saya Adi.”

“Saya Dilan”

“Selamat datang di Kandang Raudhah. Nama saya Rahmat.”

Puluhan sapi dan domba memenuhi komplek sekitar 20m x 40m itu. Adi dan Dilan sempat terkejut dengan aroma yang tak biasa mereka hirup. Hewan-hewan itu makan dan buang air di tempat yang sama. Bau makanannya saja sudah tak biasa, apalagi bau kotorannya. “Rupanya ada yang lebih parah dari kamar kosanmu, Dilan,” ujar Adi sambil terkekeh yang dijawab dengan sikutan.

“Deretan ini sapi bali. Beratnya waktu ditimbang di Bali sana, sebelum di bawa kesini, sekitar 320an kg. Selama perjalanan ada penyusutan. Tapi sampai di sini digemukkan lagi,” Rahmat menerangkan sembari menunjuk kepada sekumpulan sapi berwarna coklat dan hitam.

“Duh… Sapi aja ada yang urus. Gimana nasib kita, mblo?” Dilan berbisik melas kepada Adi.
“Tanduknya mirip kerbau ya?” Adi bertanya.

“Iya. Ciri khas Sapi Bali seperti itu. Warnanya ada yang coklat dan hitam,” jawab Rahmat.

“Pak, kalau kurban Sapi Bali apa bisa berkah?” tanya Adi lagi.

“Kenapa?” Rahmat terperanjat.

“Kan sapinya udah sering liat aurat bule, pak.”

Dilan terpaksa menyela obrolan itu. “Omongan Adi jangan didengerin, pak. Dia lagi grogi ketemu banyak pujaan hatinya.”

Rahmat hanya tertawa mendengar candaan dua remaja itu. “Kalian cari untuk kalian sendiri?” tanyanya.

“Wah… Enggak pak. Kami cuma panitia pengadaan,” tukas Dilan.

“Oooh… Patungan keluarga? Atau warga?”

“Warga pak. Di Kampung Setu. Ya minta doa aja pak biar saya juga bisa berkurban tahun ini. Atau tahun depan.”

“Amin.”

Sesaat kemudian Dilan mengeluarkan kameranya. Ia melakukan video call dengan seseorang.

“Assalamu’alaikum. Pak Rudi, ini sapinya ada 10 yang masih belum dibeli orang. Tingginya hampir sama. Pak Rudi mau pilih yang mana?” Dilan mengarahkan kamera HP ke wajah Adi. Setelah diprotes oleh yang disorot, baru ia arahkan ke deretan sapi bali.

“Wa’alaikumussalam. Yang nomor empat dari kiri itu keliatannya lebih gede. Kalau Adi jangan dikorbanin. Entar gadis-gadis Kampung Setu pada sedih,” suara dari speaker handphone yang diperbesar.

Diskusi panjang pun terjadi antar mereka. Ada 4 ekor yang rencananya akan diambil dari kandang tersebut. Setelah dicapai kesepakatan, Rahmat pun mengalungkan tanda khusus dengan label nama Dilan ke leher sapi-sapi favorit yang terpilih. Adi kegirangan luar biasa dan sigap mengambil gambar langka itu. Di Instagram, ia beri caption “Ditemukan, beberapa ekor sapi bernama Dilan.”

“Kalian masih sekolah apa udah kuliah?” Rahmat bertanya setelah kunjungan Adi dan Dilan dirasa cukup, dan mereka sudah siap-siap hendak pamit dari markas calon hewan “pengantar” pemiliknya ke surga.

“Kuliah, pak.” Dilan menjawab.

“Oh. Abis ini mau ke kampus?”

“Wah… Abis dari kandang, saya gak pede ke kampus pak. Hehe. Saya mau cari golok, kapak, dan peralatan-peralatan.”

“Hmm… Kalian jadi panitia sesi sibuk ya?”

“Alhamdulillah pak. Kalau pun gak bisa berkurban, setidaknya terlibat dalam pelaksanaan ibadah qurban. Insya Allah kebagian pahalanya.”

“Amin.”

***

“Caranya…” ujar sosok yang dipanggil ustadz itu. Ia melepas peci ke lantai. Terlihat rambut perak telah menjadi mahkota di kepalanya yang berpadu dengan sebagian helai rambut yang masih hitam. “Antum terlibat lah di kepanitiaan qurban.”

“Apa pahalanya sama dengan berkurban hewan, ustadz?”

Kembali senyum merekah dari sosok yang ramah itu. Terasa takjub baginya ada sosok anak muda di hadapan yang begitu semangat untuk melaksanakan sunnah.

“Akh Dilan, ibadah qurban itu kan ada rangkaiannya sejak menabung, memilih dan membeli hewan, memelihara, menyembelih di hari H, memotong daging, hingga mendistribusikan dagingnya kepada yang membutuhkan. Ibadah qurban ini butuh orang banyak terlibat. Karena pekurban belum tentu jago menyembelih hewan. Kalau tukang jagalnya ikhlas, insya Allah dia kebagian pahalanya juga. Begitu pun orang yang disuruh membagikan daging. Dan semua yang terlibat bahu membahu dalam menyukseskan ibadah ini. Meski pahalanya belum tentu sama dengan yang berkurban.

Antum sudah berniat. Insya Allah niat itu sudah mendapat pahala. Sekarang tunjukkan ketulusan niat itu dengan berusaha semampu mungkin mengumpulkan uang. Kalau tidak, kan masih bisa terlibat dalam rangkaian ibadah yang lain. Bantu memotong daging, mendistribusikan, atau kegiatan lain di kepanitiaan.”

Dilan mengangguk-angguk. “Ana paham, ustadz.”

“Kalau tidak mampu melakukannya sendiri, jadilah bagian dalam sebuah amal jama’i,” petuah ustadz itu.

“Insya Allah, ustadz. Ana akan hubungi pak Rudi menawarkan bantuan untuk kepanitiaan kurban. Berarti kalau tidak cukup, uangnya ana sumbang buat Lombok aja ya?”

“Silakan saja. Ikhlaskan karena Allah! Tapi jangan tanggung-tanggung. Sumbang lah sampai belasan hingga puluhan juta buat saudara kita di sana!”

“Hah… Mana cukup ustadz? Untuk dapat seharga hewan kurban saja belum tentu,” nada suara terkejut membuat sang ustadz kembali tersenyum.

“Ya bisa. Caranya begini….”

***
Terik membumbui asap-asap kendaraan yang terkepul di jalanan. Di atas separator jalan, di perempatan depan gedung kampus, Dilan berdiri mengenakan jaket almamater. Sapu tangan membungkus setengah wajahnya ke bawah, melindungi hidung dari menghirup debu terlalu banyak.

Ketika lampu merah menyala, ia sambangi motor dan mobil sembari membawa sebuah kardus bertuliskan Bantuan Untuk Lombok. “Permisi pak, kami mengajak bapak berdonasi untuk saudara kita di Lombok yang sedang tertimpa bencana gempa,” suara Dilan melawan bisingnya jalanan.

Sudah tiga jam menggalang dana. Letih juga ia rasakan. Maka ketika Adi mengajaknya kembali ke kampus, Dilan sangat setuju. Sekitar pukul 11.30 mereka serta 3 kawan lain yang bertugas siang itu istirahat dulu sekalian bersiap menunaikan sholat zhuhur. Tiga kardus dibawa menuju masjid.

“Alhamdulillah besar juga. Tiga jam dapet delapan juta tiga ratus empat puluh lima ribu rupiah.” Di serambi masjid Dilan berbicara kepada tim.

“Lanjut lagi jam berapa?” Adi bertanya.

“Jam 2 kali yak? Ada yang mau gabung lagi?”

“Aku izin, Dilan. Tapi nanti Jalih bisa gabung kok.”

“Oke Adi. Gak apa-apa.”

Kemudian sebuah handphone berdering. Dilan mengangkat benda berwarna hitam berukuran 5 inch dari sakunya. Terpampang nama Kea di layar. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Dilan, kami udah selesai nih galang dana dari kelas-kelas. Uangnya dikumpulin ke siapa?” Kea adalah ketua tim putri yang bertugas menyambangi ruang-ruang kelas di kampus itu.

“Aku lagi di beranda masjid. Ke sini aja. Dapet berapa?”

“Alhamdulillah dapet lima jutaan.”

Dilan sumringah. Hari ini terkumpul cukup banyak buat mereka yang memerlukan di Lombok sana. Belum lagi nanti malam ia akan mendatangi sebuah masjid untuk kembali menggalang dana.

Kalau ia sendiri, hanya bisa menyalurkan sekadar ratusan ribu rupiah. Tapi dengan bergabung bersama kawan-kawan yang lain, lebih banyak yang bisa ia salurkan. “Robbana taqobbal minna…” bisiknya.

***

“Caranya ya sama seperti kepanitiaan kurban, akh Dilan. Antum bentuk lah panitia dengan kawan-kawan mahasiswa. Lakukan galang dana. Hampiri orang-orang, jemput donasi.”

“Tapi kan yang ana sumbangkan tetap saja tak sampai jutaan.”

“Iya, tapi yang antum salurkan akan lebih dari segitu. Bergabung dengan sumbangan orang banyak.

Ini bukan soal angka yang mampu antum keluarkan. Tetapi soal tenaga yang akan melipatgandakan kontribusi antum untuk kemanusiaan. Memang, mayoritas uang orang, tapi melalui antum. Dengan kegigihan antum mengumpulkan donasi.”

Dilan mengangguk. Ustadz melanjutkan taushiyahnya.

“Kerja sosial tak bisa dilakukan sendiri, akhi. Butuh tenaga banyak orang. Maka jangan cukupkan dengan berinfak sebesar uang yang antum miliki. Lipatgandakan juga kepedulian itu dengan tenaga antum beraktivitas.”

“Ana paham ustadz.”

“Itu lah istimewanya amal jama’i. Maka jangan pernah mau kerja sendiri. Kita butuh sebuah jamaah untuk melipatgandakan kontribusi amal. Sehebat-hebatnya antum, akan lebih produktif lagi bila kehebatan itu disalurkan melalui sebuah komunitas.”

“Siap ustadz.”

Senyum ustadz itu kembali merekah.

Zico Alviandri

Posting Komentar

0 Komentar