Amal Jama'i yang Melarutkan Kontribusi Pribadi



Ketika tengah berteduh tiga orang pejalan pada sebuah gua, menanti malam berlalu, mereka dikagetkan dengan sebuah batu besar yang menggelinding dari atas bukit lalu berhenti tepat di depan mulut gua menutup jalan keluar. Sebegitu kokoh batu itu hingga tak dapat digeser dengan segenap tenaga yang telah mereka kerahkan. Maka menyeruaklah cemas. Nafas tercekat, debar jantung menghebat, dan air mata mendesak tumpah.

Tapi akal sehat masih terjaga. Bersepakat mereka bahwa tak ada yang bisa menyelematkan kecuali Allah swt yang dirayu dengan doa sembari menyebut amalan terbaik masing-masing.

Lalu menengadah tangan orang pertama. Pada munajatnya – seperti pada hadits Rasulullah saw yang dikisahkan oleh Abdullah bin Umar r.a. lalu dishahihkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sehingga kisah ini sampai pada derajat muttafaqun alaih – orang pertama berwasilah dengan amal birrul walidain. Ia telah memprioritaskan kedua orang tuanya diberi susu daripada keluarga lain, meski dalam sebuah malam orang tuanya itu telah lelap tertidur sementara anak mereka merengek meminta segelas susu, orang pertama itu tak bergeming sebelum keduanya bangun.

“Ya Allah, kalau aku berbuat seperti itu karena mengharap wajah-Mu, maka lepaskanlah kesukaran kami karena batu ini,” pintanya.

Dan benar. Keajaiban terjadi. Batu besar itu bergeser. Tetapi hanya memberi celah sedikit. Belum cukup untuk dilalui oleh badan satu orang pun.

Orang kedua ikut bermunajat. Menyebut amalnya yang pernah mengurungkan hasrat berzina ketika kesempatan ada di depan mata. Doa orang ini memberi kontribusi. Batu bergeser juga, celah melebar, namun belum kunjung cukup dilalui badan.

Giliran orang ketiga berdoa. Ia ceritakan tentang kejujurannya membayar upah pekerja. Meski pekerjanya itu telah pergi tanpa berita, namun upahnya yang berupa hewan ternak tetap ia pelihara. Hingga setelah beranak pinak upahnya itu, sang pekerja kembali padanya untuk menagih. Dan diserahkan semuanya tanpa kurang satu apa pun.

Doa orang ketiga memberi kontribusi. Batu bergeser memberi celah yang sudah bisa dilalui. Para pejalan yang hidup di zaman Bani Israil itu pun selamat atas sebuah kerja/amal jama’i yang meski hanya berupa doa.

Hadits itu tidak menceritakan tentang siapa yang paling berjasa. Tak didetailkan, berapa persen kontribusi orang pertama, kedua, atau ketiga. Yang jelas, doa tiap mereka telah dikabulkan oleh Allah swt, sehingga berakumulasi menjadi celah yang bisa dilewati tubuh untuk keluar dari goa.

Tak juga diceritakan kemudian masing-masing orang saling mengklaim bahwa mereka paling berjasa. Bahwa orang pertama mengklaim usahanya telah mengawali perubahan dan paling memberi pengaruh pada usaha berikutnya. Atau orang ketiga mengklaim doanya sebagai kunci penyelamatan mereka bertiga.

Tapi kontribusi tiap pribadi larut dalam sebuah kesuksesan amal jama’i. Semuanya telah berusaha, sama-sama punya jasa, dan satu sama lain harus menghargai kerja rekannya.

Begitulah hadits di atas memberi ibroh yang tersembunyi – selain pelajaran bahwa berwasilah dengan amal sholeh itu diperbolehkan.

Menjadi pelajaran juga ketika sebuah organisasi dirundung badai, tiap orang harus mengerahkan upaya sebesar yang dimampunya. Dan ketika badai berlalu, organisasi diselamatkan oleh Allah swt, tak perlu lah saling membanggakan kontribusi satu sama lain. Merasa paling berjasa dibanding kerja orang lain.

Namun hanya kepada Allah swt lah kita bersyukur. Telah menuntun jalan untuk keluar dari kondisi bahaya. Bila tidak, maka teguran Allah kepada Orang Badui Arab akan berlaku kepada kita:

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: "Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar."” (QS Al-Hujuraat: 17)

Zico Alviandri

Posting Komentar

0 Komentar