Bersikap Adillah Sejak Dalam Pikiran



Dua hari terakhir ini, pernyataan bijak Pramoedya Ananta Toer kian terngiang-ngiang di telinga. Dia seperti hidup kembali dan membisiki saya tak kenal henti.

"Bersikap adillah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan," begitu kata Pram.

Tak mudah melakukan apa yang Pram katakan. Bahkan, bisa jadi Sang Budayawan tersebut juga menyadari hal itu sulit dilakukan, bahkan oleh dirinya sendiri. Tapi, itulah seninya. Karena menurut petuah almarhum WS Rendra,"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Lalu, apa yang membuat nasehat Pram tiba-tiba makin melekat di benak saya? Asbabnya soal informasi yang beredar di media sosisl terkait pidato Presiden PKS Mohamad Sohibul Iman (MSI)dalam acara Rembuk Legislator dan Ngaji Budaya di Yogyakarta, Kamis 15 Februari silam.

Pemberitaan miring menyerang PKS dan tentu saja MSI. Ironisnya, bukan pihak luar, tapi berasal dari internal. Yakni mereka-mereka yang selama ini rutin dan semangat mendelegitimasi MSI. Pidato MSI seperti memberi amunisi baru untuk semakin keras dan massif menghantamnya.

Menurut mereka, MSI membuat mereka malu dan sedih karena ternyata mengincar posisi cawapresnya Jokowi dalam Pilpres 2019. Caci-maki hingga petisi dibuat untuk menyerang MSI. Bagi mereka, MSI tak becus memimpin partai dan harus diganti.

Jauh sebelum orasi tersebut, suara-suara negatif kepada MSI terus didengungkan. MSI dikesankan bodoh, tak cerdas, tak memiliki narasi dan tak cakap memimpin partai. Sebegitu burukkah MSI?

Apakah mereka tak mengetahui siapa sosok yang kerap dijelek-jelekkan tersebut? MSI bukan orang sembarangan. Gelar S1, S2 dan S3 nya disabet dengan kuliah di Jepang. Bukan kuliah jarak jauh, tapi layaknya mahasiswa kebanyakan. Datang ke kelas, menyimak materi dari dosen, ujian, penelitian dan seterusnya. Semuanya dari beasiswa!

S1 mendapat beasiswa Waseda University, Japan (1992), lalu S2 dari Takushoku University jurusan Engineering (1994) dan
S3 dari Japan Advanced Institute of Science and Technology (2004). Lama MSI belajar di Jepang, sehingga tak heran Negeri Sakura itu bagai kampung halaman keduanya.

”Saya berusaha, kalau bisa, setiap tahun ke sana karena sudah seperti kampung halaman,” ujarnya setelah diskusi jelang milad ke-18 PKS di Jakarta Selasa (19/4), dua tahun lalu.

Di dalam negeri, prestasinya juga mentereng. Jabatan prestisus yakni menjadi Rektor Universitas Paramdina pernah didudukinya. Tak mudah berada di posisi orang nomor satu di kampus yang didirikan Nurcholish Madjid itu.

Dengan rentetan jejak gemilang di atas, sejatinya kita bisa melihat sosok MSI sesungguhnya. Sehingga Taujih Kemenangan MSI di Yogyakarta, dapat kita tafsirkan dengan lebih cerdas.

Senaif itukah MSI yakni mengajak PKS koalisi dengan Jokowi, PDIP dan Golkar dan dinyatakan di ruang publik? Tapi karena kita sudah tak bersikap adil sejak dalam pikiran, membuat pidato tersebut kian meningkatkan adrenalin untuk menghajar MSI. Tak peduli orasi tersebut dilihat secara sepotong-sepotong. Tak utuh.

Akhirnya, MSI ini mengingatkan saya pada Presiden BJ Habibie. Sosok jenius dan dihargai di negeri orang, tapi di Tanah Air sendiri dianggap bodoh. Laporan Pertangungjawabannya ditolak dalam Sidang Istimewa MPR 1999. Habibie dengan sederet gelar dan penghargaan mentereng dari dunia internasional, kala itu bagaikan orang pandir.

Tak bisakah kita bersikap adil sejak dalam pikiran kepada saudara dan pemimpin kita sendiri?


Erwyn Kurniawan
Presiden Reli

Posting Komentar

0 Komentar