PRESIDENTIAL THRESHOLD MELAWAN UUD NRI 1945



Oleh: Mochamad Bugi

Tahun telah berganti. Pendaftaran Pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) untuk Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Tahun 2019 tinggal 7 bulan lagi. Tanggal 4-10 Agustus 2018 KPU siap menerima kedatangan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik untuk mendaftarkan pasangan Capres dan Cawapres yang diusungnya.

Waktu 7 bulan adalah waktu yang pendek bagi partai politik (parpol) peserta  Pemilu untuk menetapkan atau mendukung pasangan Capres dan Cawapres. Sementara, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi alas hukum pelaksanaan Pilpres tengah digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu hal yang dimintakan untuk diuji materi (judicial review) adalah muatan Pasal 222 berkenaan dengan syarat parpol atau gabungan parpol untuk bisa mengusulkan pasangan Capres dan Cawapres. Bunyi pasal yang mensyaratkan itu lengkapnya sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Setidaknya di Pasal itu ada dua hal yang dipermasalahkan. Pertama, besaran syarat 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional. Kedua, penggunaan hasil Pemilu anggota DPR tahun 2014 sebagai basis penghitungan syarat.

Banyak pihak berharap, MK segera membacakan Putusan atas gugatan itu. Jangan sampai MK abai dengan waktu yang mepet sehingga mengulang kejadian lima tahun silam saat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 digugat. Putusan MK ketika itu menetapkan Pilpres dan Pemilu DPR harus dilakukan serentak. Tetapi, karena tenggang waktu antara Putusan keluar dengan tanggal pencoblosan terlalu dekat, sehingga KPU tidak punya waktu untuk membuat peraturan dan jadwal penyelenggaraan Pemilu, Putusan itu tidak bisa dieksekusi. Pelaksanaan Pemilu Serentak di-delay 5 tahun hingga tahun 2019. Semoga kali ini MK tidak mengulang “kesalahan” yang sama. Jikapun harus menolak atau menerima penghapusan Presidential Threshold yang 20% itu, diharapkan Putusan MK itu bisa segera ditetapkan agar bisa dilaksanakan oleh KPU.

Banyak pihak menduga Putusan MK akan mengabulkan gugatan penghapusan syarat 20% Presidential Threshold. Artinya, MK tidak akan menggunakan dalil bahwa pensyarataan Presidential Threshold dan berapa pun besarannya, itu masuk dalam hal yang bersifat open legal policy yang menjadi hak suka-suka pembuat Undang-Undang, yaitu Presiden dan DPR.

Faktanya adanya Presidential Threshold memang bias kepentingan politik dengan alasan penghematan biaya Pemilu. Tetapi, bagi yang selalu mengawasi proses pembentukan Undang-Undang, apalagi Undang-Undang Pemilu, pasti tahu bahwa Undang-Undang kerap dikonstruksi dengan berorientasi pada kepentingan tertentu. Dan, kepentingan di balik penetapan Presidential Threshold adalah untuk mempertahankan status-quo kekuasaan yang sedang berlangsung. Seharusnya, Undang-Undang Pemilu dibuat untuk menumbuhkan dan mengembangkan demokrasi yang sejati, bukan sekadar prosedur demokrasi yang memberi legalitas bagi suatu rezim untuk berkuasa kembali. Tak heran jika dari Pemilu 1999 hingga menuju Pemilu 2019, bangsa kita belum berhasil membuat Undang-Undang Pemilu yang sejati. Setiap 5 tahun sekali, menjelang Pemilu, Presiden dan DPR membuat Undang-Undang Pemilu baru sesuai kepentingan politik sesaat.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ditetapkan melalui voting. Koalisi besar parpol pendukung Presiden di DPR mengusulkan klausul Presidential Threshold 20% dari kursi DPR hasil Pemilu tahun 2014 dan memenangkannya dalam voting. Jadi, ada bias kepentingan dari rezim yang tengah berkuasa dan koalisi parpol pendukungnya di DPR untuk memudahkan Presiden yang berkuasa untuk menang di Pilpres mendatang. Bahkan, setelah itupun ada usaha untuk memperbesar koalisi dengan tujuan parpol oposisi yang tersisa di DPR tidak bisa mengajukan Capres. Akhirnya di Pilpres 2019 hanya ada satu Capres, yaitu Presiden yang tengah berkuasa.

Padahal, kalau kita telaah original intention UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menolak Presidential Threshold dan menolak Capres tunggal. Perhatikan dengan seksama, bahwa Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Ayat (2) juga untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu diatur dalam Pasal 6A Ayat (1). Capres dan Cawpres tidak dapat diusulkan oleh perseorangan, tetapi harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 6A Ayat (2).

Makna dari Pasal 6A Ayat (2) ini berarti setiap parpol peserta Pemilu, termasuk parpol baru yang telah ditetapkan sebagai parpol peserta Pemilu, berhak mengusulkan Capres dan Cawapres. Konsekuensi dari ketentuan ini, maka tidak dapat ditetapkan adanya Presidential Threshold. Begitu juga dengan penggunaan batasannya yang secara kuantitatif yang diambil dari hasil Pemilu sebelumnya. Ini mengabaikan hak parpol peserta Pemilu yang baru yang haknya dijamin Pasal 6A Ayat (2).

Setiap kali akan Pemilu, setiap parpol mendaftar ulang sebagai peserta pemilu dan kemudian KPU melakukan verifikasi seluruh parpol pendaftar untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu. Hal itu menunjukkan bahwa hasil Pemilu yang lalu tidak ada hubungannya dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan. Termasuk dengan persyaratan mengusulkan Capres dan Cawapres. Sehingga, syarat 20% Presidential Threshold tidak relevan. Karena itu, Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 itu menjadi ambigu dan menimbulkan ketidakpastian. Bila hasil Pemilu sebelumnya yang menjadi dasar Presidential Threshold, lalu bagaimana dengan parpol baru yang belum pernah ikut pemilu? Bukankah telah ditetapkan KPU menjadi peserta pemilu, tetapi kenapa diperlakukan berbeda? Tentu ini bertentangan dengan prinsip equality before the law.

Jika benar harus mengacu ke hasil Pemilu 2014, mengapa parpol lama peserta Pemilu 2014 harus mendaftar dan diverifikasi ulang oleh KPU untuk ikut Pemilu 2019? Mendaftar ulang dan diverifikasi ulang, menunjukkan bahwa kepersertaan Pemilu 2019 tidak ada hubungannya dengan kepesertaan Pemilu 2014. Sehingga, penggunaan hasil Pemilu 2014 sebagai acuan Presidential Threshold tidak bisa diterima.

Lantas harus mengacu ke Pemilu yang mana? Tentu saja tidak ada hasil Pemilu yang bisa dijadikan acuan. Begitu juga hasil Pemilu 2019. Sebab, pada Pemilu 2019 Pemilu Presiden dan Pemilu DPR dilakukan serentak. Artinya, semua parpol peserta Pemilu 2019, setelah mendaftar, diverifikasi, dan dinyatakan lolos sebagai peserta Pemilu oleh KPU, dianggap belum pernah ikut Pemilu sebelumnya. Karena itu, syarat Presidential Threshold yang 20% dari kursi DPR menjadi tidak relevan. Oleh karenanya, sudah sepantasnya jika Putusan MK adalah mengabulkan judicial review pasal 222 karena Presidential Threshold bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan prinsip equality before the law.

Sekarang lihat Pasal 6A Ayat (3) dan (4).

Ayat (3):
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Ayat (4):
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jelas bahwa UUD NRI tidak memberi peluang adanya Capres tunggal. Yang diatur Pasal 6A ayat (3) dan (4) adalah Pilpres dengan Capres lebih dari satu.

Sekarang bola panas masalah ini ada di MK. Apakah MK, melalui Putusannya, akan memberi “stempel” sah keinginan rezim yang berkuasa dan koalisi parpolnya di DPR yang memberlakukan Presidential Threshold ataukah MK akan menetapkan Putusan sesuai original intention UUD NRI Tahun 1945? Semoga MK tidak memilih menjadi “banci” dengan cara membuat Putusan sesuai original intention UUD NRI Tahun 1945, tetapi ditetapkan terlalu dekat dengan bulan Agustus, akibatnya Putusan itu tidak dapat dilaksanakan oleh KPU. MK memberi peluang rezim berkuasa dan koalisi parpolnya memberlakukan Presidential Threshold, tetapi tidak mau kehilangan muka di hadapan rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar