Wanita Pemintal Benang




Oleh : H. Irsyad Syafar

Tersebutlah kisah seorang wanita di kota Mekkah -dimasa Rasulullah- yang kerjanya memintal benang. Bersama dengan anak buahnya dia bekerja memintal benang untuk dijadikan kain dan pakaian. 

Hanya saja wanita ini punya masalah dengan "akalnya". Dari pagi sampai siang dia dan anak buahnya memintal benang. Sampai menjadi kuat dan menjadi sehelai kain. Namun kemudian setelah siang, dia menyuruh anak buahnya membuka kembali tenunan itu sehingga menjadi kusut dan porak-poranda. Begitu terus hampir setiap hari perangainya.

"Kebodohan" ini kemudian dijadikan Allah sebagai perumpamaan dalam FirmanNya:

وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا...

Artinya: "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali...". (QS An Nahl: 92).

Permisalan ini ditujukan untuk orang-orang yang telah bersumpah dan berjanji dengan nama Allah. Namun kemudian sumpah dan janji yang telah kuat itu kemudian mereka langgar. Tentunya itu merupakan sebuah perbuatan yang sangat bodoh.

Disamping itu, permisalan ini juga bisa berlaku bagi orang yang telah bersusah payah melakukan sebuah pekerjaan yang baik dan positif, lalu kemudian pekerjaan itu dia rusak sendiri. Akibatnya, pekerjaan tersebut menjadi sebuah pekerjaan yang sia-sia.

Seorang mukmin pastilah butuh perjuangan, pengorbanan dan kesabaran dalam melakukan ibadah dan amal shaleh. Tidak sedikit godaan dan rintangan yang dihadapi sampai tuntasnya sebuah amalan (ibadah). Maka tentulah dia akan sangat hati-hati untuk terus menjaga dan merawat amal shalehnya. Sehingga berkesinambungan dan kemudian memperoleh balasan yang berlipat ganda di hadapan Allah.

Para ulama dan orang-orang shaleh pendahulu kita, mereka sangat khawatir terhadap amal shaleh mereka. Khawatir jika tidak diterima oleh Allah. Makna/kandungan ini Allah isyaratkan dalam Firmannya:

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Artinya: "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka". (QS Al Mu'minun: 60).

Ibunda Aisyah ra. pernah bertanya kepada Baginda Nabi saw tentang ayat ini: "Apakah orang yang takut bertemu dengan Allah itu orang-orang yang minum tuak dan para pencuri?". Rasulullah saw menjawab:

 لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ ! وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ )

Artinya: "Bukan begitu wahai anak perempuan Abu Bakar Shiddiq. Mereka itu adalah orang-orang yang puasa, shalat dan bersedekah. Tetapi mereka takut/khawatir amalan mereka tidak diterima oleh Allah. Mereka itulah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan." (HR At Tirmidzi).

Begitulah perilaku orang-orang shaleh. Mereka terus berpacu dalam kebaikan. Tapi mereka juga tetap khawatir kalau-kalau amal shaleh itu tidak diterima. 

Malah dari perilaku kebanyakan para shalihin, mereka bahkan menyembunyikan amal shaleh mereka, agar tetap terjaga dan tersimpan dengan baik. Mereka takut kalau-kalau banyak orang yang tahu, akan berpeluang rusak.

Imam Abdullah Ibnul Mubaarak, seorang ulama senior di abad ke dua hijriah (118 - 181 H). Ulama yang sekaligus juga Mujahid. Murid dari Abu Hanifah, Imam Al Auza'iy, dan Imam Sufyan Ats Tsaury. Sedangkan Yahya bin Mu'in dan Abu Daud adalah murid Beliau. Beliau adalah pakar dan rujukan dalam Fiqh, hadits dan Tarikh. Beliau menceritakan tentang keshalehan seorang budak di kota Mekkah.

Ketika itu Mekkah dilanda musim kemarau dan kering kerontang. Sudah banyak orang yang berdoa meminta hujan. Namun hujan tak kunjung datang. Malam itu menjelang shubuh, Ibnul Mubaarak shalat tahajjud di Masjidil Haram. Persis di depan Beliau ada seorang budak hitam tengah bermunajad kepada Allah, "Ya Allah... Orang-orang telah bedoa kepadaMu. Tapi hujan belum turun. Aku bersumpah atasMu, turunkanlah hujan kepada mereka, saat ini juga.... saat ini juga...".

Abdullah bin Al Mubarak menyatakan, "Budak itu masih mengatakan "saat ini juga", langsung awan berkumpul di atas masjid, dan hujanpun turun."

Selepas shalat shubuh Ibnul Mubarak berusaha menguntit budak tadi pulang ke rumahnya. Setelah tahu dimana rumahnya, Beliau kembali ke masjid untuk berdzikir sampai dhuha. Setelah shalat dhuha Beliau menuju rumah budak hitam tadi. Ketika sampai di rumahnya, tuannya keluar menyambut Ibnul Mubarak.

Ibnul Mubarak menyampaikan bahwa dia ingin membeli budaknya. Tuannya itu bertanya, "Budak yang mana? Saya punya 20 orang budak". Setelah dipanggil satu persatu, muncullah budak yang dimaksud. 

Ibnul Mubarak membelinya dengan harga 14 dinar emas, lalu dibawanya pulang. Sesampai di rumah, budak tersebut duduk bersandar dan bertanya, "Untuk apa engkau perbuat ini semua?". Beliau menjawab, "Bukankan engkau yang semalam berdoa, lalu langsung turun hujan?". Ibnul Mubarak ingin mengetahui apa rahasia amal shaleh budak tersebut hingga doanya mustajab dengan cepat.

Tapi budak itu langsung emosi. Ia tidak ingin ketahuan tentang amal shalehnya. Ia menginginkan itu tetap rahasia antara dia dengan Allah. Budak itupun langsung berdoa kepada Allah, "Ya Allah, karena Engkau telah singkap tentang diriku, maka wafatkanlah aku...", Budak itu langsung tersungkur sujud dan wafat seketika. (Dari karya Imam Ibnul Jauzi: Shifatush Shafwah).

Seorang ulama besar generasi pertengahan Tabi'in, menceritakan kejadian yang hampir mirip terjadi di Madinah. Beliau adalah Abdullah bin Al Mankadir (30-130 H), Murid dari Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas, Ibnu Zubeir dan beberapa sahabat senior lainnya. Para ulama hadits senior seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa'i dan Ibnu Majah, semuanya meriwayatkan hadits dari Ibnul Munkadir.

Beliau merupakan ulama rujukan di masa itu. Kepada murid-muridnya ia pernah berkata, "Empat puluh tahun aku kekang diriku sampai ia istiqamah".

Abdullah bin Al Munkadir menceritakan kisah seorang budak yang shaleh di Madinah. Suatu malam Beliau shalat tahajjud di masjid Nabawi. Rupanya di depannya ada seorang budak yang sedang bermunajat di balik tiang. Dalam doanya budak tersebut meminta turun hujan, setelah sekian lama orang lain berdoa, namun hujan tak kunjung turun. Belum sempat budak itu menurunkan tangannya saat berdoa, hujan lebat pun sudah turun.

Ibnul Munkadir sangat kaget dan takjub dengan budak ini. Selesai shalat shubuh dia buntuti budak tersebut. Setelah tahu rumahnya, Ibnul Munkadir kembali ke masjid Nabawi. Selesai shalat dhuha barulah Beliau mendatangi rumah budak tersebut.

Ternyata budak tersebut hanya seorang tukang yang sangat sederhana. Dengan ramah dia sambut kedatangan Ibnul Munkadir. Namun wajahnya langsung merona merah dan emosi saat Ibnul Munkadir bertanya apakah dia yang tadi malam berdoa minta hujan.

Ibnul Munkadir menyadari kondisi tersebut. Sehingga Beliau segera pamit dengan niat akan datang lagi Keesokan harinya. Tapi, saat Beliau kembali mendatangi rumah budak tersebut, ia sudah tidak ada dan menghilang. Malah para tetangga marah dan memprotes Syekh Ibnul Munkadir. Mereka berkata, "Apakah yang telah engkau perbuat kepada tetangga kami kemaren? Hari ini dia sudah kabur menghilang. Kami tidak tahu dimana dia tinggal."

Ibnul Munkadir berusaha mengetok seluruh rumah yang ada di Madinah. Namun Beliau tidak menemukan budak tersebut. Begitulah dia menjaga dan mengawal amal shalehnya. (Dari kitab Shifatus Shafwah).

* * * * *

Begitulah sedikit profil orang-orang shaleh yang diceritakan oleh orang shaleh lagi terpercaya.
Mereka mengawal dan menjaga amal shaleh mereka. Jangankan akan merusaknya, untuk sekedar ketahuan saja sudah mereka minimalisir dan hindarkan.

Ramadhan kemaren ini, telah sama-sama kita isi dengan berbagai amal shaleh dan ibadah, seperti: puasa, shalat berjamaah, shalat-shalat malam, bersedekah, tilawah Al Quran dan lain-lain. Tentunya kita tidak boleh menjadi "wanita pemintal benang". Sudah letih dan capek beribadah, lalu kemudian dirusak sendiri dengan berbuat dosa, maksiat, syirik dan dosa-dosa lainnya. Tentu ini sangat "bodoh" dan sia-sia.

Bila Baginda Rasul saw hanya sekali saja tidak qiyamullail dalam hidupnya (yaitu ketika sakit menjelang wafatnya), maka kita jangan sampai terbalik, hanya sekali di ramadhan saja qiyamullailnya.

Bila orang-orang shaleh pendahulu kita, mayoritas perjalanan hidup mereka adalah kebaikan, maka kita jangan sampai terbalik, hanya di ramadhan saja menjadi "orang baik".

Wallahu A'laa wa A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar