Mengukur Kadar Keimanan



Oleh: Eko Jun

@ Salam Ramadhan

Disebuah agenda tabligh, ada seorang muballigh pernah berkata "Bisa jadi tingkat keimanan orang awam jauh lebih tinggi dari tingkat keimanan orang terpelajar. Orang awam mempraktekkan ibadah sepenuh hati, tanpa banyak bertanya. Orang awam mempraktekkan nilai - nilai iman, sabar, tawadhu, tawakal, husnudzan dll dengan sepenuh hati, tanpa banyak berwacana dan berteori". Boleh jadi, ucapan yang kurang lebih semakna pernah disampaikan oleh muballigh disekitar lingkungan kita.

Teorinya, seorang yang berilmu dan terpelajar itu akan memiliki derajat keimanan yang lebih tinggi ketimbang orang awam. Karena mereka beribadah berdasarkan ilmu dan pemahaman, sedang orang awam hanya mengikuti apa yang diajarkan oleh pemuka agamanya saja (kyai, ustadz, ulama). Namun pada kenyataannya, ternyata banyak juga orang - orang yang cerdas dan terpelajar, namun justru malah semakin jauh dari Allah dan semakin ragu dengan kebenaran agama.

Agama Islam itu bisa dibuat mudah, bisapula dibuat rumit. Faktanya, Islam itu memang bisa dipahami oleh orang arab badui yang jauh dari peradaban. Dengan bimbingan dari nabi dan para shahabat, mereka menjadi pribadi muslim yang shaleh dan taat. Namun banyak juga fakta, islam jadi sulit dipahami oleh mereka yang bertahun - tahun belajar dan mengkajinya. Akhirnya mereka terjebak dengan paham - paham sesat, pemikiran yang membingungkan dan debat tidak produktif yang tak berkesudahan.

Tentu saja, banyak hal bisa kita urai. Mungkin karena sumber pembelajarannya tidak jelas. Belajar islam itu harus merujuk kepada Al Qur'an dan Al Hadits. Kalau belum apa - apa koq malah belajar filsafat atau kajian orientalis, hasilnya pasti berbeda. Rasululah saw sangat marah saat melihat Umar membaca kitab Taurat. "Ya Umar, andai saja saat ini Musa masih hidup, niscaya dia akan mengikuti apa yang aku bawa" kata nabi. Jika ada kajian islam koq jauh dari nilai - nilai Al Qur'an dan Al Hadits, sebaiknya dihindari.

Hal lain, mungkin karena faktor pengajarnya. Belajar islam itu kepada para ulama, wabil khusus kepada ulama yang mengamalkan ilmunya. Kalau belajar islam kepada orang fasik atau bahkan kepada orientalis, hasilnya pasti berbeda. Lihat dan bandingkan saja hasilnya. Mungkin guru ngaji kita juga tidak terlalu faqih, tapi ternyata mampu mengantarkan kita untuk beragama dengan baik. Sedang mereka yang larut dengan wacana yang melangit, kadang jarang berdzikir dan shalatnya pun masih belepotan.

Hal lain, mungkin karena faktor lingkungan dan pergaulan. Teorinya, burung yang sama bulunya akan bertengger didahan yang sama. Atau hadits nabi yang terkenal "Al arwaahu junuudun mujannadah". Jika mereka berteman dengan ahli beramal shaleh, niscaya suasana fastabiqul khairat sangat lekat dalam kehidupannya. Namun jika temannya adalah ahli debat dan hoax, dengan sendirinya karakter dan kepribadian itu akan ter-install dalam dirinya. Setan dibelenggu-pun sudah tidak lagi berpengaruh.

Bagaimana cara kita berislam? Bagaimana cara kita belajar islam? Pertanyaan itu dan juga banyak pertanyaan mendasar lain, hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya. Jika bertambahnya ilmu membuat kita tambah yakin dengan kebenaran islam, semakin termotivasi untuk beribadah, semakin takut kepada Allah, tambah rindu dengan akherat, insya Allah kita berada dijalur yang benar. Lagian buat apa kebanyakan ilmu jika tidak membawa kita pada hal - hal itu? Justru malah memberatkan hisab di akherat.

Jika kita lewat disuatu desa, lalu melihat orang - orang dengan kehidupan, tampilan dan bahasa yang sederhana, namun mereka giat dan sibuk dengan banyak amal shaleh, boleh kita iri dengan mereka. Andai waktu boleh diputar kebelakang, mungkin kita juga ingin menjalani hidup seperti mereka saja. Hm,.. namanya juga hidup, isinya hanya "sawang sinawang". Wallahu a'lam.

Posting Komentar

0 Komentar